You Are At The Archives for 2016

Selasa, 20 Desember 2016

Kenangan Terindah dari Maya*

YANG TIDAK pernah kusangka sebelumnya.

Tujuh tahun lalu di masa biru putih. Aku mengenal Maya, perempuan berbadan montok, berkulit putih, berambut pendek dan bertai lalat di atas bibir. Ia adalah seseorang yang mampu memberikan makna pada sebuah ketidaksengajaan dan sesuatu yang  dianggap tidak sopan. Mengubah sedikitnya pola pikirku mengenai hal berbau dan berbunyi yang asalnya dari belakang, yaitu Kentut.

Sungguh kuucapkan banyak terima kasih pada Maya. Tidak hanya memberikan pelajaran berharga tapi ia juga memberikan kenangan terindah yang tak pernah aku lupakan sampai sekarang. Kenangan yang melebihi nyanyian mantan di tengah malam dan kecupan lembut di kening.

Kala itu aku, Maya dan tujuh teman lainnya sedang latihan senam untuk tugas akhir kelas 1 SMP. Kami sudah berlatih cukup keras dan ini latihan ketiga kalinya. Pelatih senam dengan baju ketatnya sudah memimpin di depan. Kami dengan segera mengatur barisan dan aku berada tepat di belakang Maya dengan jarak setengah meter. Musik di setel. Senam akan berlangsung sekitar 30 menit. Pelatih dengan santai memeragakan gerakan pemanasan, kami semua mengikuti dengan seksama. Waktu sudah berjalan 10 menit untuk pemanasan. Dilanjutkan dengan gerakan cepat fase tengah senam selama 15 menit. Kami cukup sulit mengikutinya dan kerap kali bertabrakan. Fase terakhir adalah pendinginan. Gerakan lambat dan pelan merenggangkan otot-otot yang tegang. Pada salah satu gerakan pelatih memeragakan, dua tangan yang di tarik kedepan menundukkan setengah badan. Terasa sekali gerakan itu menarik otot sekitar pantat hingga betis. Dan saat kami sudah berada pada bentuk yang sama persis dengan pelatih.
“Duuuuuuuuuuuut.”  suara lain keluar diantara musik mendayu-dayu.
Seketika semua terdiam, beku. Mencari asal suara yang ternyata berasal dari Maya. Kami semua melihat ke arahnya, kemudian tertawa terbahak-bahak seketika barisan senam buyar. Aku tertawa terpingkal-pingkal sampai gulung-gulung dilantai. Air mata kesenangan jatuh bercampur dengan sisa-sisa keringat. Mulutku kaku dan mukaku merah. Itu adalah ketawa paling lepas dan terlama yang pernah aku alami.  Maya hanya tersenyum malu-malu melihat kami semua tertawa. Jujur tertawaku yang paling parah.

Dari kejadian tersebut aku belajar bahwa, di-kentut-i tak selamanya menyebalkan. Maya memberikan arti kesenangan disana. Kentut bisa membuat kami semua tertawa bersama. Sejak saat itu hubunganku dengan Maya menjadi lebih dekat dan Maya jauh lebih dikenal karna kentutnya, bukan lagi karna tai lalat besar di atas bibirnya. 

Ngomong-ngomong soal tai lalat Maya. Usut punya usut, sekarang ia menjadi salah satu anggota Komunitas Tompel se-Indonesia (KTI) di bawah kepengurusan tiga kawan yang juga aku kenal cukup dekat. Mereka adalah Faiz si bapak dekonstruksi, Rossi ibu negara api dan seorang lagi yang disembunyikan identitasnya. Dan semoga komunitas ini tetap berada pada jalan yang lurus.   

Setelah ini mungkin Maya bisa membentuk komunitas baru mengenai ke-kentut-an bersama ahli psikologi kentut, bapak Basit. Untuk urusan pengkaderan bisa saya bantu nanti.  


*Tulisan ini merupakan hasil tantangan Writting Challange bertema Kentut' 

Sabtu, 24 September 2016

Njiir! Pahit kopiku.


Malam sendu bukan “suka sundel” loh ya, sehabis hujan di sabtu malam. Hari ini aku tidak keluar kosan untuk bertemu cecunguk-cecunguk kecil ataupun mengujungi tempat pertapaan. Molak-malek di atas tempat tidur tanpa seprei berjam-jam itu kegiatanku seharian. Menyenangkan bukan? (apanya yang menyenangkan, galau yang iya. Keinget mantan) hati kecilku berkata demikian. Fiyuuh. Untung nggak ada lagu keputusasaan yang biasanya kalo malem-malem gini disetel sama penghuni kamar kosan sebelah, namanya and*ra dia udah putus sama laki-laki pujaannya sejak setahun lalu tapi belum bisa move on. Gile kan. Aku agak pesimis bisa move on dari mantan (dia pacar pertamaku). Hiks. Aku pikir dia yang pertama dan terakhir, (lak cie inget lagunya sherina) ternyata... zonk. Oke-oke sudahlah mungkin ini memang jalan takdirku mencintai tanpa dicintai (yah, lirik lagu lagi). Hiks.
Kembali ke jalan yang seharusnya. Alasan hari ini gak keluar kamar sama sekali kecuali pas boker dikarenakan diriku sedang malas-malasnya bertemu manusia, setengah manusia, apalagi yang bukan manusia (terkecuali binatang nan lucu atau tumbuhan yang berfotosintesis dan sesuatu yang enak). Sejak diklat terusaikan dan sepuluh anggota magang berstatus anggota tetap, kehampaan menyerang ke sanubari jiwa raga. Tak ada yang menarik lagi, hambar. Satu-satunya kawan yang terijinkan untuk menemani kehampaanku hanya Elok. Dia yang menemaniku ngopi sampai larut malam hingga pagi dan ngobrol ngalur ngidul. Menyebalkan. Terakhir aku bertemu Elok kemarin di bsxxvii cafe dijalan semanggi. Tak taulah malam itu aku sangat ingin kopi hitam pahit. Pesan dan memilih tempat duduk dekat jendela depan pintu masuk. Pembicaraan absrud dimulai, dari apa itu identitas nyambung ke jati diri lalu berakhir pada manusia itu apa.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya “Jeng-jeng” kopi datang beserta indomie goreng lengkap dengan telur mata sapi dan sayur sawi. Mancap. Seruput dulu kopinya, lidahku menangkap rasanya dan ternyata “KOK MANIS!” aku salah pesen, harusnya aku bilang tanpa gula. Yah gagal deh, menikmati malam yang pahit ini. Tapi indomie nya enak kok. Hehe. Sepertinya akan jadi tempat favorite. Lain kali harus bilang “tanpa gula.” Aku dan elok ngopi sampai tengah malam saja, sisanya ngopi bersama kawan-kawan plantarum sambil main UNO.  Setelah bosan kami semua memutuskan untuk kembali keperadaban mimpi dan malam itu diakhiri dengan salam perpisahaan mungkin saja besok tidak bertemu.
Dan memang benar hari ini aku tidak bertemu mereka, untuk malam ini ingin aku akhir dengan kopi pahit pekat yang kemarin tidak sempat terwujud. Aku nyeduh sendiri “Kopi kapal api tanpa gula dan kental” ditemani wafer nissin. Aku seruput dan rasanya terlalu pahit sampai batuk-batuk. Akhirnya tak terminum. Yah-yah mungkin aku yang tak pandai membuat kopi atau mungkin aku yang tak pandai menikmati kepahitan. Teh susu wae lah penak.


Kosan, 24 September 2016 sebelas malam

Jumat, 24 Juni 2016

Pemerataan untuk Air di Yogyakarta

“Air tanahmu adalah nyaniyan kering tentang keabadian hotelmu adalah misteri semesta.” (remix-soe hok gie), ungkapan kekecewaan masyarakat Yogyakarta terhadap penguasaan air oleh pihak hotel  dilukiskan dalam mural di cuplikan film dokumenter Belakang Hotel produksi WATCHDOC. 
Film Dokumenter "Belakang Hotel" 
Pembangunan hotel yang menjamur membuat geram masyarakat. Salah satunya adalah warga kecamatan Miliran yang tinggal bersebelahan dengan Hotel Fave, setahun lalu melakukan aksi protes karena setelah dua tahun Hotel Fave berdiri sumur warga jadi asat (kering), pihak hotel yang menggunakan sumur bor hingga ke tanah bagian dalam menyebabkan sumur tradisional warga yang kedalamannya hanya sampai tanah dangkal ikut tersedot. Asatnya sumur membuat warga jadi kalang kabut karena sebagian besar rumah tangga di kota Yogykarta menggunakan sumur tradisional untuk urusan MCK.
            Dodok salah satu warga Miliran sempat menggelar aksi protes dengan mandi pasir di depan Hotel Fave. “…saya hanya berpedoman pada hukum UUD 45 pasal 33, bahwa bumi air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh negara dan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat bukan untuk Hotel Fave.” ucap Dodok ditengah-tengah sesi wawancara setelah menggelar aksi. Dugaan penyebab asatnya sumur warga Miliran terbukti, selang seminggu setelah penutupan sumur bor/arteri Hotel Fave, air warga Miliran kembali lancar meskipun musim penghujan belum datang. Maka dapat disimpulkan kemarau panjang bukan faktor utama dari asatnya sumur warga Miliran seperti yang disampaikan pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH). (film Dibelakang Hotel, 2014). Diperhitungkan 1 kamar hotel rata-rata memerlukan 380 liter air/hari, sedangkan rumah tangga hanya memerlukan rata-rata 300 liter air/hari dan 1 hotel biasanya memiliki ratusan kamar, ditambah lagi tahun 2014 wisatawan dalam maupun luar negeri mengalami kenaikan yang signifikan.
Baca selengkapnya »

Mereka Wanita Yang Terlupakan

Buku yang mengisahkan
              kehidupan Jugun Inafu
Sekitar 200.000 perempuan Asia berumur 13 tahun keatas menjadi budak seks di masa jajahan Jepang. Jugun Ianfu atau Perempuan penghibur yang ikut militer sebutannya saat itu. Ianjo (tempat lokalisasi) jadi saksi bisu jeritan perempuan-perempuan belia. Bilik-bilik kamar dingin tak berkata saat serdadu Jepang mulai melorotkan celana tentaranya lalu menyiksa batin dan fisik Jugun Ianfu dengan birahi kebinatangannya. Bukan hanya satu, namun 10-20 serdadu Jepang yang meniduri seorang Jugun Ianfu dalam sehari.Tahun 1942-1945 merupakan masa kelam bagi sebagian perempuan di Indonesia khusunya dia yang berwajah cantik. Digiring dengan truck melewati jalan, kota hingga pulau menjauh dari kampung halaman. Tanpa tahu dibawa kemana perempuan-perempuan itu hanya berharap mendapat pekerjaan yang layak. Seperti pemain sandiwara atau pelayang atau pembantu. Padahal tanpa mereka tahu, akan dijadikan sebagai budak seks bagi serdadu Jepang. Penipuan mengawali penderitaan perempuan Jugun Ianfu.
Kesaksiaan pilu tergambar jelas dari guratan keriput di wajah Mardiyem salah satu korban dalam tragedi perbudakaan seks oleh Jepang. Dalam buku “Momoye: Mereka Memanggilku” dikisahkan perjuangan Mardiyem dan kawan-kawanya saat menjadi budak seks hingga perjuangannya meminta pertanggung jawaban atas kejahatan masa lalu yang dilakukan Jepang. Tak mudah menjalani hidup senagai mantan Jugun Ianfu kemiskinan, stigma, dan penghakiman moral menjerat mereka. Stigma negatif muncul dilingkungan masyarakat, anggapan perempuan kotor masih jadi bahan obrolan dan sindiran lalu didiskriminasi.
“...sampai saat ini masih terjadi stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para wanita eks Jugun Ianfu, yakni sebagai wanita penghibur dan pekerja seks.” anggota Komnas HAM, Hesti Armiwulan. (news.detik.com, dimuat tahun 2010)
Baca selengkapnya »

Sabtu, 07 Mei 2016

Saya Tidak Bisa Berenang

Berawal dengan permulaan yang asal-asalan dan pengakhiran tak pasti, terkecuali kematian. Menghirup kepulan uap air mendidih, dua telur saling berbenturan memecah gelembung rapuh. Ia berdiri sedikit menjauh. Api kompor sudah terlalu mengganggu pandangannya. Tangan pasi mendingin bercorak urat kehidupan menyeka air kesedihan yang begitu saja jatuh dari mata kirinya. Seorang khayal berbisik dari samping, "Kau harus tetap hidup".
Hari ini tidak ada bulan, mendung yang sejak sore menitikan butiran air dari langit sang pencipta menghalanginya. Tanah masih basah, petrikor menyejukkan udara. Wajahku masih menatap hitam hanya beberapa titik yang bersinar satu, dua, empat, dan lima jariku menghitung. Pikirku mengarungi dunia hayal, angin berhembus menggoda ajak lalui kelabilan waktu. Beberapa kata muncul disusul kalimat berdebur memanahkan seribu anak panah membawa juntaian benang warna-warni namun hitam jadi mayornya. Saling bersalipan, bergulung tak aturan dan mengikat satu sama lain terkumpul di ruang batok, membekukan otak dan retak. Suara kehilangan katanya, umpatan merundung nurani. Eufemisme menumpul rajutan halus enggan untuk menafsirkan absurditas pola pikir yang tak lagi berpola. Sungguh ini paragraf acak, berlompat-lompat.
Baca selengkapnya »

Rabu, 13 April 2016

...

“Saat kita menemukan dunia ini terlalu buruk, kita butuh mengungsi ke dunia lain.” 
(Gustave Flaubert)
     Manusia-manusia insomnia belum usai menyeruput kopi arabica gold. Dini hari sudah menusuk tulang, namun tangan masih sibuk mengaduk kopi dengan takaran bubuk 20 gram tak boleh kurang, tak boleh lebih kata boss. “Mbak pesen arabica gold dua.” minta seorang pelanggan yang baru datang sekitar jam dua pagi. Tawa mereka, menyimpulkan apologi bahwa istri-istri tak kan marah jika suaminya ngopi sampai pagi. Arabica gold jadi primadona malam ini, berlenggak lenggok layaknya model berparas pahit, berjalan diantara lidah. Wajah kantuk para insomnia jadi bergairah. Agaknya lebih memikat daripada tubuh bohay sang istri, mungkin aroma kopi lebih nikmat.
    Asap rokok mengepul, bersalip dengan angin malam. Coba rasuki selah-selah otakku melalui lubang hidung. Pikirku yang sumpek sejak kemarin-kemarin berakumulasi, tidak bisa direduksi dan terjebak di “Wakrop Mbah Mo”. Beberapa bulan ini hidup saya sedang tidak bersahabat. Indah yang dulu, sekarang tlah hilang, kabur bersama waktu yang menguji. Resahku kambuhan, pribadiku semakin tak jelas. Mi instan yang tiap hari mengkritingi lambung, aku pun tak peduli. Biar sakit lalu mati. Mati pun aku tak peduli, biar hidup seribu tahun pun. Akhirnya neraka jadi persinggahan, lamanya hanya DIA yang tahu. Lagi-lagi eksistensi yang mendahului esensi, akan di putus oleh realita. 
    Malam itu, setelah menangis sejadi-jadinya di depan salah seorang teman, aku ingin tidur. Namun apadaya, ini keharusan untuk tetap terjaga. Melamun lalu tenggelam dalam prasangka akibat tindihan masalah. Malam ini, juga malam-malam sebelumnya selalu sama. Absurd terkonstruksi mengisi setiap ruang dalam otak, tak karuan. Arsitektur kehilangan seninya. Pesimistis untuk bangun. Aku lelah menabik problematika urip. Urip tak kasihan pada saya. Urip jahat. Nggak tak bolo awakmu, rip-urip. Babano. 
Baca selengkapnya »

Selasa, 29 Maret 2016

Kata sang tetua

Tak seperti biasanya hari ini saya sungguh malas berlama-lama di sekret. Belum tau alasannya, bisa jadi karena saya bosan harus melihat wajah-wajah yang itu lagi dan lagi. Atau mungkin karena si sialan itu. Jika benar ingin ku pisuhhi dia. Dasar bangsat kau! SEPI yang sialan. Tega-teganya dirimu hanya menyisakan suara kipas, decitan kayu, gerutuan tikus, perut embul ketum, dan lebih parah lagi wajah pengharapan sang tetua akan sentuhan lembut dan cipokan wanita menggairahkan, sialnya itu hanya harapan semu diantara perdebatannya dengan kursi-kursi kelas. SEPI yang tak berpri keramaian, mencoba kelabui saya melupakan kesepian melalui dua manusia abstrak (sesuatu yang dapat dilihat ,kata sang tetua). Hampir setiap hari, dari perut masih keroncongan sampai rasa mual karena guyonan mereka. Rutinitas tanpa pikir di sekret.
Kadang kala kepelongoan mendominasi. Jika sudah bosan, kisah di kamar mandi jadi topik pembicaraan, jika sudah tak menarik lagi keanehan diri sendiri jadi perdebatan tak berujung. Misal saja, story telling tersingkat pimred, perut embul usman, celetukan maut sekum, dan sang tetua yang selalu mondar-mandir untuk mengusir kebosanan. Tapi sayangnya, emhh.. karna yang disayang sedang tidak disisi. Bukan-bukan itu. Maksudnya, disayangkan keambiguan ini terlalu sering terjadi diantara kami bertiga “aku yang paling cantik”, perut embul dan sang tetua. Hanya bertiga di ruang remang, selonjoran berbantal kapuk yang lapuk. Untung iler tak pernah ikut campur. Masih bisa dipastikan kondusif.
Baca selengkapnya »

Rabu, 23 Maret 2016

Waktu Yang Surutkan

Langkah berat susuri lautan berbutir
Angin panas membawa ratusan debu berdebur
Kali ini sang raja siang begitu angkuh mengumbar teriknya
Tetesan letih jatuh basahi pelipis
Basah, layaknya mandi di lautan keringat
Asin, hingga tak mampu mengecap
Panas hampir lelehkan kaki keras musafir ini
Namun enggan untuk larutkan keras tekad
Malam tak kunjung juga bertamu, 
Meski bulan merayu untuk hembuskan sedikit nafas istirahat
Panjang... 
Masih pajang jejak meninggalkan lara
Rumput kering seakan-akan menari kegirangan di antara batu-batu pasir
Hamparan mengering mengejek
Menampar-nampar muka telanjang
Haus...
Air ludah yang ia simpan di botol sudah habis
Tak mungkin isap air kelelahan dari kain kepala, terlalu asin 
Siluet punuk-punuk unta dari balik terik silau buat mengiri
Jika saja punya punuk, perjalanan tak mungkin seberat ini
 Oase... 
Satu-satunya harapan 
Membasahi kembali kerongkongan dengan air kehidupan 
sebelum haus yang melamban mulai surut oleh waktu
Lalu hentikan langkah dan harapan akhir

Rabu, 16 Maret 2016

Selingkuhanku

Rutinitas tak pernah tau ujungnya, mungkin sampai raga tak mampu mengeja makna dari ini semua. Pagi hingga sore menjelang ku habiskan dengan berleye-leye di atas kasur beralas kain biru dengan bantal dan guling tak aturan. Buka pemberitahuan bbm, buka line, buka instagram, buka mulut lalu buka pintu dan ke kamar mandi mau buang hajat dulu. Entahlah hari ini tipu ketua kelas alasan sakit dan titip absen untuk kuliah selanjutnya. Tak hanya buka-bukaan yang aku lakukan hari ini tapi juga cuci-cuci baju, agar besok bisa buka baju dan ganti dengan baju bersih. Sesambil menunggu nasi matang, ku buka laptop dan tulis-tulis seadanya di blog lalu posting ke facebook agar lainnya tertarik untuk buka blog ini. Benernya aku malam ini buka buku dan baca biar presentasi besok bisa buka mulut untuk bicara, ora ngurus bener atau salah sing penting dosen ngerti wani mbuka cangkem iku wes cukup, nilai B ada di genggaman. Tapi malam ini aku malas belajar akuntansi, selalu malas lebih tepatnya. Mungkin angka-angka yang saklek buat mata tegang dan ngantuk. Pokok yang penting debit-kredit seimbang masalah selesai. Aku enggak habis pikir ada mahasiswa yang mampu belajar ngitung uang hayalan dari pagi hingga siang hingga sore hingga malam dan kembali ke pagi lagi. Apa pikirku dulu, bisa-bisanya masuk jurusan akuntansi, alasannya karna prospek kerja akuntansi lebih terbuka lebar. Ga ada urusan, itu semua tergantung dari proses. Untunglah masih punya pelampiasan, aku bisa selingkuh mungkin sampai dua tahun kedepan. Sudah kurencanakan ingin habiskan waktu bersama selingkuhanku. Orang tua, yaa urusan nanti, akan ku yakin kan setelah lulus bahwa dia “selingkuhanku” jauh lebih baik dari dia pilihan kalian atas persetujuanku yang lalu saat umur masih belum bisa menyesuaikan kedewasaan. Jika janji itu bisa diputus sekarang, akan aku putus. Tapi sayang, itu tidak bisa. Lagi-lagi soal lainnya jadi alasan. Tapi aku tak sepenuhnya kecewa, kalo bukan karna kau ya “akuntansi” mungkin aku tidak akan kenal dengan selingkuhanku sekarang. Selingkuhan ajari aku memahamimu beri aku semangat dan tuntun menuju cita-cita yang masih belum terpikirkan. Bersabarlah sayang. Aku tuntaskan dulu hubunganku dengannya tapi hanya sekedarnya, perhatian tetap tertuju padamu "Selingkuhanku".
Kosan
Maret 2016

Ketika bosan

Cakrawala telah bertukar. Hawanya mengharap bulan tak sendiri lagi, petang ini. Wahai bintang yang sedikit. Tetaplah tinggal! Jangan ikuti awan gelap. -17:43-
Halus melambai dari jauh mata. Sepoi menggiring harum debur ombak. Siluet hitam terbayang antara lidah jingga. Dirimu berdiri menatap hitam tenggelamkan fajar. "Apa yang kau tunggu sayang?" ucapku dalam hati. Lalu suara berbisik dari tempatmu "Kematiannya." ucapmu lirih. -18.00-
Bosan... Wahai cicak di dinding beri aku harapan dalam tunggu. Jatuhkanlah telurmu, hasil buahan semalam bersama si jantan. Biar bekas kaos kaki yang erami, aku akan bersabar menunggu sampai hidup baru muncul dari cangkang tipis itu. Harapku tyrannosaurus mungkin yang akan memecah cangkang dari dalam. Ternyata salah, yang muncul hanya anak ayam. Terlalu banyak lamun melamun dari hayal menghayal. Dasar mungkin terlalu tinggi, mimpi di atas pucuk gunung. -18.06-
Manusia tak jelas itu, hari lalu berucap "Saya menyerah tidak apa-apa kan?" "Silahkan sayangku." aku membatin. Tapi jangan muncul lagi! Bersama kumis tipis apalagi kata-kata tak tau aturan itu. Ini bukan perkara gampang. Pintunya sudah terbuka sedikit. Angin malam terlanjur masuk dan kau pergi tanpa menutup kembali. Tau tidak aku mudah sekali masuk angin. -18.16-
Baca selengkapnya »

Susuri rasa lewat lidah dan pahami dengan pikiran masing-masing.

Identitas Buku
Judul                : Linguae
Penulis             : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit           : Gramedia Pusaka Utama
Tempat Terbit  : Jakarta
Tahun Terbit    : 2007
Cetakan ke      : 2
Ukuran Buku  : 13,5 x 20 cm


Terlambat delapan tahun untuk membaca buku ini. Menyimpulkan seperti ini mungkin saja salah tapi rasanya sudah terlalu telat, banyak karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang belum dibaca. Hari lalu saya dapat pinjaman “LINGUAE” dari seorang kakak angkatan di kampus. Ia bilang bahwa cerpen-cerpen SGA bagus, akhirnya saya habiskan waktu tiga hari untuk membaca. Dari kata ke kata, lalu kalimat ke kalimat, hingga bab ke bab menyusuri tiap arti sampai titik mengakhiri. Kadang harus mengulang karna gagal paham, analoginya di beberapa cerpen dalam buku ini seperti Joko Swiwi, Badak Kencan dan Perahu Nelayan Melintas Cakrawala agak sulit di pahami bagiku yang baru-baru saja membaca karya sastra jenis ini. SGA sepertinya membebaskan pembaca untuk berasumsi atas ceritanya dan kesimpulan hadir sesuai pemahaman pembaca atas tulisannya.
Setiap cerpen dalam buku ini punya nilai yang diangkat, dari percintaan, kemanusiaan, pencarian jati diri, konflik masyarakat, penghianatan, kebebasan dan mungkin yang lain. Salah satunya seperti “Cintaku Jauh di Komodo” disini menceritakan bahwa cinta bukan melulu soal rasa namun perwujudan juga jadi pertimbangan. Jika kekasihmu bereinkarnasi menjadi seekor komodo jantan apakah cintamu masih ada. Tak hanya menyajikan untaian kata yang asik tapi juga pertanyaan dan peryataan yang buat berfikir ulang atas sesuatu yang selama ini dianggap sederhana.
Buku ini enak dibaca dalam keadaan sepi dengan suasana yang tidak panas. Cukup dengan sejuk, akan buat nyaman ikuti alur cerita. Cocok untuk para punjangga yang suka berpuitis dan habis’si waktu dengan bait-bait kata penuh tafsir. Bagi pemula yang ingin jadi pujangga juga boleh, banyak kosakata yang bisa ditiru.   

Kamis, 10 Maret 2016

Rumah

Jangan bertengkar lagi
Biarkan lelap tidur malam ini

Rabu, 09 Maret 2016

Kaki kecil bertelanjang

"Redah, hujan telah usai turunkan rezkinya. Kubangan menampung anugerah mengisi dahaga-dahaga kehausan hingga meluap kemana-mana. Kira semuanya kebagian, nyata kaki telanjang itu masih mengada tangan meminta air. Berusaha menjaga agar tetes tertampung di atas selah-selah tangan. Hujan, mungkin engkau terlalu sebentar basahi bumi."
Sore tadi usai hujan, langkah kecil tanpa alas hampiri aku dan temanku yang sedang menunggu fotocopy'an dekat kampus. Dengan membawa dua bilah kayu ia mencoba memanggil, "Minta mbak."suaranya rendah, matanya hanya sepintas melihatku lalu mengalihkan pandangan ke arah televisi yang tergantung diatas. Ia terdiam, recehan kuulurkan ke tangan kecil itu lalu diambilnya. Ia sempat terdiam kemudian kembali menoleh kearah televisi. Hanya sebentar dan akhirnya dengan bertelanjang kaki ia pergi meninggalkan jejak. Ia hanya bocah kecil yang masih hidup di kemarau panjang berharap hujan turun agar keringnya mampu dibasuh. Sayang payung besar telah menghalangi tetesan hujan. Hanya menyisakan tetes-tetes dari atap, bahkan kaki kecil tanpa alas itu tak mampu merasakan sejuknya tanah sehabis hujan. 

Kita Berdua Diantara Kata

"Kata hanya kata yang tertulis, tulus sungguh tak nampak. Selalu bisu saat mata bertemu, mendiami pikiran sendiri. Pernahkah penasaran hadir di benakmu. Jika jujur mampu terucap, aku hanya suka namun takut untuk cinta. "
     Dia yang tak terdefinisi, mengagumkan dalam ketik-ketik perkataan. Tiap malam sepi saat aku mengharapkan kehadirannya, ia datang dalam sapaan singkat. Entah mengapa saat itu senyum hadir di bibir. Sengaja memang disengaja membalas sapaan itu sedikit lama, malu dalam hatiku memaksa perasaan untuk tidak terlihat. Saat ini, biar jadi penghibur keluh resah. Tanpa kasih yang membara cukup dengan lilin kecil sudah mampu jadi fajar penerang lara. 

Selasa, 08 Maret 2016

Hidup Itu Bekerja Jika Tidak, Bukan Hidup Namanya

“Setetes keringat pasti membawa manfaat,minimal apa yang kita kerjakan berguna untuk diri sendiri.” ucapnya 

Hari itu adalah pertemuan kedua kami, seperti biasa ripped jeans dan kaos berangkap kemeja serta tas selempang mengemas apik tubuh tingginya. Santai dan agak sedikit berantakan mungkin ungkapan yang tepat. Manusia ramah itu selalu mengumbar senyumannya, tak terkecuali padaku orang yang baru ia kenal tiga hari lalu. Affrizal Genter sebut saja itu nama kerennya karna yang terterah di akte adalah Afrizal Andifahmi. Sempat aku tanyakan via maya, apa arti genter?  “Genter itu nama panggilan mulai SMP gara-gara basket, awalnya pelatihku yang manggil gitu akhirnya semua ikut-ikutan.” jelasnya. Jika dalam bahasa Jawa, Genter artinya kayu panjang yang digunakan untuk mengambil buah di atas pohon alias senggek. Mungkin karna badannya yang tinggi tegap julukan seperti itu muncul. Nama aslinya yaitu Afrizal diambil dari nama seorang pahlawan Filipina Joze Rizal yang pemberani dan multitalenta sedangkan Andi adalah nama almarhum ayahnya dan Fahmi merupakan nama teman ibunya yang sangat jenius. Jika nama adalah sebuah doa, tak salah jika orangtua Afrizal berharap dia menjadi seorang laki-laki yang pemberani dan multitalenta seperti Jose Rizal serta cerdas.
Afrizal lahir di De Kleine Zwitserland atau Swiss Kecil di Pulau Jawa sebutan untuk kota Batu, Malang tepatnya pada tanggal 21 September 1994.  Selama enam tahun ia tinggal bertiga bersama kakek dan neneknya di kota itu. Tanpa menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), ia memasuki sekolah dasar madrasah. “Waktu SD di Batu, aku hampir nggak naik kelas untungnya aku pindah ke Jember dan bisa naik kelas.” ungkapnya.  Tahun 2000 ia pindah ke Jember dan hidup menetap bersama orang tua dan kakak perempuannya. “Dulu aku kira kakek nenek itu adalah orang tuaku” jelasnya. Ia dititipkan sementara di Batu bersama kakek neneknya karna orangtua Afrizal bekerja di jember dan tidak bisa membawa dua anak sekaligus, mengingat saat itu umur kakak Afrizal yang juga masih kecil hanya selang 4 tahun setelah kelahirannya.
Afrizal remaja dikenal sebagai anak yang tidak bisa diam dan mudah bergaul, memasuki Sekolah Mengah Pertama (SMP) ia sudah disibukkan dengan kegiatan didalam maupun diluar sekolah. “Aku dulu waktu SMP sering banget pulang malem dan tidur disekolah.” ucapnya seraya tertawa dengan suara khas. Dari kegiatan paskib hingga jadi fotografer amatiran ia lakoni, bahkan jadi penjaga warnet pernah ia alami “Buat nambah-nambah, dulu uang jajanku cuma Rp 5000. Habis untuk makan sama transport, untuk itu aku cari penghasilan lain biar bisa nabung dan traktir teman-teman.” tawanya kembali merekah mengingat jaman-jaman SMP. Ia juga pandai melihat peluang, saat teman-teman SMPnya malas mengerjakan tugas Afrizal remaja akan bersedia menggarapkan tugas teman-tamannya dengan imbalan beberapa lembar uang seribuan. “Jadi temen-temenku sing males, tugasse tak kerjakno nah terus mereka tak suruh bayar.”
Baca selengkapnya »

Perjalanan "Bergerak!" Dalam Menggerakan Gerakan Mahasiswa

Identitas Buku
Judul                : BERGERAK! Peran Pers Mahasiswa dalam
Penumbangan Rezim Soeharto
Penulis             : Satrio Arismunandar
Penerbit           : Genta Press
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit    : 2005
Cetakan ke      : 1
Tebal Buku      : xxii + 210 halaman
Editor              : Iwan Kurniawan Z
Sampul            : Nuruddien
Ukuran Buku  : 14,5 x 21 cm

Berjudul “BERGERAK! Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soerharto” buku ini menuliskan seacara gamblang peranan gerakan mahasiswa, dikemas dalam sudut pandang pers mahasiswa (persma) yang hakekatnya berperan sebagai pemasok informasi, motivator, sosialisasi, integrasi, dan edukator. Disisi lain peran mediator, inspirator, provokator dan korektor juga turut menjadi peranan yang mampu mempengaruhi segala lapisan masyarakat terutama para pemuda Indonesia yang saat itu mulai menyadari adanya praktek-praktek politik, ekonomi, dan sosial yang janggal saat rezim order baru pimpinan Soeharto yang disebut-sebut sebagai pemimpin otoriter yang membatasi rakyat untuk beraspirasi menyampaikan pendapatnya hingga pembrendelan. Banyak media-media pers maupun umum yang terkesan datar dalam memberitakan gejolak politik di Indonesia, namun ada salah satu media persma yaitu BERGERAK! yang mau secara gamblang dan tanpa sungkan-sungkan mengkritik bagaiamana boboroknya pemerintahan Indonesia secara berani . Dalam buku ini, Satrio sang penulis memfokuskan pada media BERGERAK! yang berperan aktif dalam memberikan pengaruh dan mobiltas terhadap gerakan mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan Soeharto, selain itu penulis juga menjelaskan pada bab awal mengenai sejarah sistem pemerintahan Indonesia secara singkat dan bagaimana situasi rakyat dan gerakan-gerakan, maupun pers saat itu. Kemudian pandangan secara umum apa itu peran, status, gerakan sosial, gerakan mahasiswa, dan persma, dengan berfondasi pada beberapa toeri dan kisah-kisah pembrontakan di belahan bumi lain yang mirip dengan rezim di Indonesia. Kembali pada fokus penulis, pada bab-bab selanjutkan akan dijelaskan sejarah persma, profil BEGERAK!, dan bagaiaman peran BERGERAK! dalam penumbangan rezim soeharto hingga kelengserannya.
Baca selengkapnya »

Senin, 07 Maret 2016

Rumit Mengembun

     Sayu bulan memandang malam, hitam bertabur bintang mengingatkan nyenyak. Lelah menguap, angkasa memerahkan putih susu penglihatan. Hitam memekat pahit di cangkir, mendingin di seruput ujung bibir. Remahan di atas piring meminta diakui keberadaannya. Lalu udara dingin menari-nari berselah-selah dengan pikiran kalut. Tiba-tiba suara dalam bertanya "siapa aku". Pandangan merogoh jauh ke masa lalu, mencari-cari bukti keberadaan. Menyusuri jalan hidup melalui ingatan mundur dan temui jejak awal pijakan. Menduga dengan persepsi dan logika tak berjalan. 
     Mungkin "aku" tertinggal di masa itu, bersama asa yang lain. Mungkin "aku" di masa kini, telah bertransformasi menjadi sesuatu yang nyata. Mungkin "aku" di masa depan terbentuk dari imajinasi dan harapan. Rumit atau memang dirumitkan, tali lurus sengaja digulung sulit temukan ujung lainnya. Itu belum terjawab, tapi masalah sudah meminta pertanggung jawaban dan lelah ikut meminta perhatian. Semuanya memaksa untuk diselesaikan. Kepalaku pegal, ijinkan sedikit menunduk agar uap dalam pikiran mengembun di bawah mata. 
     Jangan bertanya embun tercipta, tak sanggup untuk menjelaskan. Beradalah disampingku temani aku setiap malam saat kopi masih panas hingga dinginnya tiba. Kau akan tau bagaimana embun itu tercipta. 
     

Kamis, 03 Maret 2016

Masih pagi

    Pagi ini sendiri lagi, susu kotak dan roti coklat tinggal bungkusnya. Sekret dan kampus masih sepi lalu lalang hanya beberapa. Pintu-pintu lainnya masih tertutup, penghuni sebelah dengan mata berbelek dan rambut berantakan keluar dari mimpi malamya. Alunan musik "Senandung Senja" menemani disini, harapannya embun segera menggiring ranum sore tiba menggantikannya. 
    Masih pagi, hingga mataku mulai tertuju pada sosok wanita yang tak asing. Turun dari motor membawa map berisi berkas menebak isinya kertas-kertas penentu masa depan. Sapanya dengan senyum terbalaskan dengan senyumku. Ia lalu duduk disampingku dan menanyakan pintu yang masih tertutup, katanya pemilik pintu itu punya surat keputusan. Sambil menunggu pintu terbuka kami berbicara. Terawali tanya, "Sudah sampai mana?" "Hari ini baru mulai mencari kepastian."jawabku 
    Ia kemudian mulai menyinggung soal pengambilan keputusan. "Aku dan lain bukan dewa, jangan langsung dimakan roti yang kami beri."ucapnya. Aku hanya diam dan tersenyum tipis. "Kami sedang bingung."pandanganku kebawah. Ia kembali tersenyum menutupi muka seriusnya. "Semuanya perlu pertimbangan. Lihat sisi baik dan buruknya, lalu ambil keputusan yang terbaik."ucapnya lagi. Aku kembali menunduk, rasanya apa yang telah kami lakukan agak keliru. Mungkin kami masih pagi terlalu cepat mengharap senja. 

Minggu, 28 Februari 2016

Perempuan di taman

Kala itu, ia duduk menyendiri di pangku bangku kayu berimaji tentang rindu tanpa rasa. Menunggu tanpa harap. Hampa di tiup angin sore. Datar menantap pancuran air kolam. Andai saja pria di bawah pohon mendekati. Kemudian duduk, melihat apa yang ia lihat dan lontarkan rasa. Mungkin ia akan menoleh. 

Sabtu, 27 Februari 2016

Malam Minggu

Malam kesepian 
Tuan rembulan tak bertamu 
Padahal ini hari sakral 
Lihat saja 
Dua sejoli bermesraan di pojok taman 
Temaram lampu berdiri awasi padu kasih 
Saling bertatap
Saling berpangku
Saling bercumbu

Malam kepikiran 
Tuan rembulan tak bertamu 
Mungkinkah dihalangi mendung
Lihat saja 
Rinai hujan basahi taman 
Kucing hitam termangun di bawah meja besi
Pikirnya meongan anak ingin menyusu

Malam kelupaan 
Tuan rembulan tak bertamu
Asik menari dengan kerlip bintang
Lihat saja
Seorang gadis berjaket biru  
Terlentang di atas bangku taman 
Asik menghitung titik kuning di langit

Jumat, 26 Februari 2016

Nyanyian bapak, pengantar lelap

"Putri cening ayu. Ngijeng cening jumah. Meme luas malu. Ke peken mablanja. Apang ada dahar nasi."
    Larut menghabisi malam, duabelas dua tujuh. Suara kipas selaras dengan sunyi. Obrolan tetangga dipaksa berhenti oleh si kantuk. Kini benar-benar hening. Kemudian nyanyian "Putri Cening Ayu" serasa bergema, sudah lama sekali tak mendengar lagu itu. Mungkin enam belas tahun. Teringat pertama kali, saat masih di gendongan, tertimang-timang suara lembut bapak mengiringi lelap. Tangispun menyerah saat bait pertama selesai. Hingga gigi pertama muncul lagu itu masih teralunkan dan selalu berhasil mendatangkan nyenyak berhias mimpi indah.
Dan malam ini, anak perempuan mu yang tak lagi bisa di timang-timang ingin mendengarkan lagu itu kembali dari suara bapak sebagai pengantar tidur hingga esok menyambut.   


Kamis, 25 Februari 2016

Rindu

Saat itu di luar hujan. Sore menjelang malam, kali ini bias merah jambu tak terlihat hanya petrichor yang terbawa angin dan suara tak hingga tetesan hujan jatuh mengenai tanah dan atap rumah. Nyaman namun sepi. Hujan selalu membawa nostalgia, bukan kisah cinta dua sejoli yang teringat namun aroma manis pisang goreng dan secangkir besar teh hangat di atas meja buatan ibu. Keluarga, empat wajah selalu teringat. Saling berbincang-bincang, melontarkan candaan, dan menjailli satu sama lain. Rindu. Banyak hal di masa lalu ku harap bisa terulang, saat ulang tahun bapak, saat jalan-jalan ke tempat wisata, saat membuat kandang kelinci, saat bapak pulang kerja dan membawa donat isi, saat ibu masak hidangan spesial, saat cerita horor dan kami berlima tidur di satu kamar. Sayangnya kenangan itu sulit sekali terwujud saat ini. Perubahan yang terjadi membuat semuanya jadi agak kacau. Kabur ke masa lalu ingin dilakukan tapi mesin waktu belum selesai tercipta. Ehm, mungkin harus tetap di sini barangkali masa depan membawa kejutan.