Njiir! Pahit kopiku.
Malam sendu
bukan “suka sundel” loh ya, sehabis
hujan di sabtu malam. Hari ini aku tidak keluar kosan untuk bertemu
cecunguk-cecunguk kecil ataupun mengujungi tempat pertapaan. Molak-malek di atas tempat tidur tanpa
seprei berjam-jam itu kegiatanku seharian. Menyenangkan bukan? (apanya yang
menyenangkan, galau yang iya. Keinget mantan) hati kecilku berkata demikian. Fiyuuh. Untung nggak ada lagu
keputusasaan yang biasanya kalo malem-malem gini disetel sama penghuni kamar
kosan sebelah, namanya and*ra dia udah putus sama laki-laki pujaannya sejak
setahun lalu tapi belum bisa move on. Gile kan. Aku agak pesimis bisa move on
dari mantan (dia pacar pertamaku). Hiks. Aku pikir dia yang pertama dan
terakhir, (lak cie inget lagunya sherina) ternyata... zonk. Oke-oke sudahlah mungkin ini memang jalan takdirku mencintai
tanpa dicintai (yah, lirik lagu lagi). Hiks.
Kembali ke jalan
yang seharusnya. Alasan hari ini gak keluar kamar sama sekali kecuali pas boker
dikarenakan diriku sedang malas-malasnya bertemu manusia, setengah manusia, apalagi
yang bukan manusia (terkecuali binatang nan lucu atau tumbuhan yang
berfotosintesis dan sesuatu yang enak). Sejak diklat terusaikan dan sepuluh
anggota magang berstatus anggota tetap, kehampaan menyerang ke sanubari jiwa
raga. Tak ada yang menarik lagi, hambar. Satu-satunya kawan yang terijinkan
untuk menemani kehampaanku hanya Elok. Dia yang menemaniku ngopi sampai larut
malam hingga pagi dan ngobrol ngalur ngidul. Menyebalkan. Terakhir aku bertemu
Elok kemarin di bsxxvii cafe dijalan semanggi. Tak taulah malam itu aku sangat
ingin kopi hitam pahit. Pesan dan memilih tempat duduk dekat jendela depan
pintu masuk. Pembicaraan absrud dimulai, dari apa itu identitas nyambung ke
jati diri lalu berakhir pada manusia itu apa.
Setelah menunggu
cukup lama akhirnya “Jeng-jeng” kopi datang beserta indomie goreng lengkap
dengan telur mata sapi dan sayur sawi. Mancap. Seruput dulu kopinya, lidahku
menangkap rasanya dan ternyata “KOK MANIS!” aku salah pesen, harusnya aku
bilang tanpa gula. Yah gagal deh, menikmati malam yang pahit ini. Tapi indomie
nya enak kok. Hehe. Sepertinya akan jadi tempat favorite. Lain kali harus
bilang “tanpa gula.” Aku dan elok ngopi sampai tengah malam saja, sisanya ngopi
bersama kawan-kawan plantarum sambil main UNO.
Setelah bosan kami semua memutuskan untuk kembali keperadaban mimpi dan
malam itu diakhiri dengan salam perpisahaan mungkin saja besok tidak bertemu.
Dan memang benar
hari ini aku tidak bertemu mereka, untuk malam ini ingin aku akhir dengan kopi
pahit pekat yang kemarin tidak sempat terwujud. Aku nyeduh sendiri “Kopi kapal
api tanpa gula dan kental” ditemani wafer nissin. Aku seruput dan rasanya
terlalu pahit sampai batuk-batuk. Akhirnya tak terminum. Yah-yah mungkin aku
yang tak pandai membuat kopi atau mungkin aku yang tak pandai menikmati
kepahitan. Teh susu wae lah penak.
Kosan, 24 September 2016 sebelas malam
Leave a Reply