Sabtu, 24 September 2016

Njiir! Pahit kopiku.


Malam sendu bukan “suka sundel” loh ya, sehabis hujan di sabtu malam. Hari ini aku tidak keluar kosan untuk bertemu cecunguk-cecunguk kecil ataupun mengujungi tempat pertapaan. Molak-malek di atas tempat tidur tanpa seprei berjam-jam itu kegiatanku seharian. Menyenangkan bukan? (apanya yang menyenangkan, galau yang iya. Keinget mantan) hati kecilku berkata demikian. Fiyuuh. Untung nggak ada lagu keputusasaan yang biasanya kalo malem-malem gini disetel sama penghuni kamar kosan sebelah, namanya and*ra dia udah putus sama laki-laki pujaannya sejak setahun lalu tapi belum bisa move on. Gile kan. Aku agak pesimis bisa move on dari mantan (dia pacar pertamaku). Hiks. Aku pikir dia yang pertama dan terakhir, (lak cie inget lagunya sherina) ternyata... zonk. Oke-oke sudahlah mungkin ini memang jalan takdirku mencintai tanpa dicintai (yah, lirik lagu lagi). Hiks.
Kembali ke jalan yang seharusnya. Alasan hari ini gak keluar kamar sama sekali kecuali pas boker dikarenakan diriku sedang malas-malasnya bertemu manusia, setengah manusia, apalagi yang bukan manusia (terkecuali binatang nan lucu atau tumbuhan yang berfotosintesis dan sesuatu yang enak). Sejak diklat terusaikan dan sepuluh anggota magang berstatus anggota tetap, kehampaan menyerang ke sanubari jiwa raga. Tak ada yang menarik lagi, hambar. Satu-satunya kawan yang terijinkan untuk menemani kehampaanku hanya Elok. Dia yang menemaniku ngopi sampai larut malam hingga pagi dan ngobrol ngalur ngidul. Menyebalkan. Terakhir aku bertemu Elok kemarin di bsxxvii cafe dijalan semanggi. Tak taulah malam itu aku sangat ingin kopi hitam pahit. Pesan dan memilih tempat duduk dekat jendela depan pintu masuk. Pembicaraan absrud dimulai, dari apa itu identitas nyambung ke jati diri lalu berakhir pada manusia itu apa.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya “Jeng-jeng” kopi datang beserta indomie goreng lengkap dengan telur mata sapi dan sayur sawi. Mancap. Seruput dulu kopinya, lidahku menangkap rasanya dan ternyata “KOK MANIS!” aku salah pesen, harusnya aku bilang tanpa gula. Yah gagal deh, menikmati malam yang pahit ini. Tapi indomie nya enak kok. Hehe. Sepertinya akan jadi tempat favorite. Lain kali harus bilang “tanpa gula.” Aku dan elok ngopi sampai tengah malam saja, sisanya ngopi bersama kawan-kawan plantarum sambil main UNO.  Setelah bosan kami semua memutuskan untuk kembali keperadaban mimpi dan malam itu diakhiri dengan salam perpisahaan mungkin saja besok tidak bertemu.
Dan memang benar hari ini aku tidak bertemu mereka, untuk malam ini ingin aku akhir dengan kopi pahit pekat yang kemarin tidak sempat terwujud. Aku nyeduh sendiri “Kopi kapal api tanpa gula dan kental” ditemani wafer nissin. Aku seruput dan rasanya terlalu pahit sampai batuk-batuk. Akhirnya tak terminum. Yah-yah mungkin aku yang tak pandai membuat kopi atau mungkin aku yang tak pandai menikmati kepahitan. Teh susu wae lah penak.


Kosan, 24 September 2016 sebelas malam

Leave a Reply