Pemerataan untuk Air di Yogyakarta
“Air tanahmu adalah nyaniyan kering tentang keabadian hotelmu adalah misteri semesta.” (remix-soe hok gie), ungkapan kekecewaan masyarakat Yogyakarta terhadap penguasaan air oleh pihak hotel dilukiskan dalam mural di cuplikan film dokumenter Belakang Hotel produksi WATCHDOC.
Film Dokumenter "Belakang Hotel" |
Pembangunan hotel yang menjamur membuat geram masyarakat. Salah
satunya adalah warga kecamatan Miliran yang tinggal bersebelahan dengan Hotel
Fave, setahun lalu melakukan aksi protes karena setelah dua tahun Hotel Fave
berdiri sumur warga jadi asat (kering), pihak hotel yang menggunakan sumur bor
hingga ke tanah bagian dalam menyebabkan sumur tradisional warga yang
kedalamannya hanya sampai tanah dangkal ikut tersedot. Asatnya sumur membuat
warga jadi kalang kabut karena sebagian besar rumah tangga di kota Yogykarta
menggunakan sumur tradisional untuk urusan MCK.
Dodok salah satu warga Miliran
sempat menggelar aksi protes dengan mandi pasir di depan Hotel Fave. “…saya
hanya berpedoman pada hukum UUD 45 pasal 33, bahwa bumi air dan segala kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh negara dan di manfaatkan
sebesar-besarnya untuk rakyat bukan untuk Hotel Fave.” ucap Dodok
ditengah-tengah sesi wawancara setelah menggelar aksi. Dugaan penyebab asatnya
sumur warga Miliran terbukti, selang seminggu setelah penutupan sumur bor/arteri
Hotel Fave, air warga Miliran kembali lancar meskipun musim penghujan belum
datang. Maka dapat disimpulkan kemarau panjang bukan faktor utama dari asatnya
sumur warga Miliran seperti yang disampaikan pihak Badan Lingkungan Hidup
(BLH). (film Dibelakang Hotel, 2014). Diperhitungkan 1 kamar hotel rata-rata
memerlukan 380 liter air/hari, sedangkan rumah tangga hanya memerlukan
rata-rata 300 liter air/hari dan 1 hotel biasanya memiliki ratusan kamar,
ditambah lagi tahun 2014 wisatawan dalam maupun luar negeri mengalami kenaikan
yang signifikan.
Jika berbicara krisis air di sebuah
wilayah atau kawasan sebut saja kota Yogyakarta, tidak bisa hanya melihat satu
per satu hotel. Penumpukan hotel yang
terjadi di kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dari data Badan Pusat Statistik
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2013 menyatakan bahwa ada 1.680 hotel
yang tersebar di lima kabupaten/kota DIY. Terinci sekitar 410 berada di kota
Yogyakarta dengan luas wilayah hanya 32,5 km2 atau 1,025 % dari luas wilayah DIY
keseluruhan yaitu 3.185,8 km2 .Pada kabupaten Sleman ada sekitar 400 hotel yang
tersebar dengan luas wilayah 574,82 km2. Sedangkan untuk tiga kabupaten lain,
yaitu Bantul (508,28 km2) ada 279 hotel, Gunung Kidul (1.485,36 km2) ada 67
hotel dan Kulon Progo (586,28 km2) hanya ada 26 hotel. Di kota Yogyakarta
sekitar 35 hotel dalam tahap pembangunan dan 70 investor telah mengantongi izin
mendirikan bangunan (IMB) dan 104 dalam proses perizinan. Dari data tersebut
terlihat bahwa pemerintah provinsi DIY hanya memusatkan pembangunan di sentral
kota. Itu baru hotel, belum lagi apartemen, mall, industri, urbanisasi dan
petumbuhan penduduk yang setiap tahun mengalami peningkatan dimana sebagian
besar pemenuhan kebutuhan air dari sumur tradisional dan sumur bor/arteri.
“Pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta masih cukup tinggi yakni pada kisaran 2,1 persen dari jumlah total warganya sekitar 400 ribu jiwa.” (KRjogja.com,2014)
Secara keseluruhan krisis air yang
terjadi di kota Yogyakarta di sebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan
kepadatan penduduk. Perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah di kota
Yogyakarta dan Sleman memiliki kepadatan tertinggi yaitu 12.313 jiwa/km2 dan
1.958 jiwa/km2 daripada tiga kabupaten
lainnya, jelas konsumsi air di dua wilayah ini lebih tinggi. Bangunan-bangunan
yang menumpuk menyebabkan kurangnya lahan resapan air hujan, tak ayal jika
terjadi krisis air.
Pemerintah provinsi/daerah DIY
seharusnya bisa mengambil langkah bijak. Pembangunan yang dilakukan tidak
semata-mata untuk tujuan peningkatan anggaran APBD saja, namun juga harus
memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Pemerataan pembangunan perlu
dilaksanakan secara serius untuk mengatasi krisis air secara jangka panjang,
tak hanya berpusat di kota Yogyakarta dan Sleman, tiga kabupaten lain seperti
Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Projo dengan luas yang lebih besar seharusnya
bisa di manfaatkan untuk pembangunan namun dengan batas-batas yang sekiranya
tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Juga perlu
diperhatikan, pengendalian urbanisasi untuk menghindari kepadatan penduduk yang
semakin menjadi dan penyedian lahan resapan air hujan untuk meningkatkan
persediaan air dalam tanah.
Mengingat semboyan Hamemayu Hayuning
Bawana (melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih
mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi).
Seyogyanya upaya upaya yang telah direncanakan dalam perencanaan dan pebangunan
daerah (Bappeda) dapat diimplementasikan dengan memprioritaskan kesejahteraan
rakyat bukan embel-embel kepentingan swasta atau pihak-pihak tidak bertanggung
jawab yang hanya mengejar keuntungan semata.
Leave a Reply