Kata sang tetua
Tak seperti
biasanya hari ini saya sungguh malas berlama-lama di sekret. Belum tau
alasannya, bisa jadi karena saya bosan harus melihat wajah-wajah yang itu lagi
dan lagi. Atau mungkin karena si sialan itu. Jika benar ingin ku pisuhhi dia. Dasar bangsat kau! SEPI yang
sialan. Tega-teganya dirimu hanya menyisakan suara kipas, decitan kayu, gerutuan
tikus, perut embul ketum, dan lebih parah lagi wajah pengharapan sang tetua
akan sentuhan lembut dan cipokan wanita
menggairahkan, sialnya itu hanya harapan semu diantara perdebatannya dengan
kursi-kursi kelas. SEPI yang tak berpri keramaian, mencoba kelabui saya
melupakan kesepian melalui dua manusia abstrak (sesuatu yang dapat dilihat ,kata
sang tetua). Hampir setiap hari, dari perut masih keroncongan sampai rasa mual
karena guyonan mereka. Rutinitas tanpa
pikir di sekret.
Kadang kala kepelongoan
mendominasi. Jika sudah bosan, kisah di kamar mandi jadi topik
pembicaraan, jika sudah tak menarik lagi keanehan diri sendiri jadi perdebatan
tak berujung. Misal saja, story telling tersingkat pimred, perut embul usman,
celetukan maut sekum, dan sang tetua yang selalu mondar-mandir untuk mengusir
kebosanan. Tapi sayangnya, emhh.. karna yang disayang sedang tidak disisi. Bukan-bukan
itu. Maksudnya, disayangkan keambiguan ini terlalu sering terjadi diantara kami
bertiga “aku yang paling cantik”, perut embul dan sang tetua. Hanya bertiga di
ruang remang, selonjoran berbantal kapuk yang lapuk. Untung iler tak pernah ikut campur. Masih bisa
dipastikan kondusif.
Lanjut dan
berlanjut, rutinitas penuh intuisi. Ketidakjelasan semakin membabi buta
tepatnya kemarin. Vidio klip perangsang dari negeri barat membuka tabir
kepolosan otak-otak kami bertiga. Diawali dengan selangkangan lalu ... (susah
mengungkapkannya dalam kata-kata). Hingga celetukan manja sang tetua sedikit
melaknat mbak Hira, “Emm kon Hir, adekmu mbok ajari nonton koyok ngenean.” Cuman
tawa yang menjawab. Ya meskipun obrolan kami terlihat tidak etis dan
melencengkan moral bagi sebagian orang atau mahasiswa lain, tapi saya sungguh MENIKMATINYA.
Bukan tontonannya tapi KEBERSAMAANNYA. Seru untuk beberapa puluh menit, hingga
kebosanaan kembali menggurui. Untungnya bosan yang datang, bukan sialan si SEPI.
Lalu sang tetua kembali mencoba untuk meraimakan kembali dengan membuka blog
kawan-kawan. Ya beberapa jadi sasaran bacaannya. Di baca dengan lantang seperti
pendongeng. Ehh mungkin sang tetua terlalu lama hidup di negeri dongeng. Hadeeh.
Hingga blogku jadi sasaran selanjutnya.
“Lembah Melupa.”
sang tetua, terlalu lantang menyuarakannya. ia bilang tulisanku pendek-pendek.
Benar-benar pendek. Bukan hanya sang
tetua yang bilang tapi beberapa teman juga. Heh, agak nelangsa sebenarnya. Memang saya pribadi merasa sulit untuk menulis
narasi yang panjang-panjang paling poll ya, 700 kata itupun untuk laporan utama
di buldock. Kadang mengiri pada tulisan-tulisan
panjang dan berisi layaknya tulisan sang tetua dan beberapa temannya yang
diam-diam saya kagumi. Selalu mengikuti postingan terbaru mereka dan akhirnya
berdecak kagum. Ingin hati seperti itu tapi sikil, skill maksudnya tidak
sampai. Tapi saya akan terus menulis mencoba dan coba-coba. Sempat saya
tanyakan pada tetua “Kenapa ya mas sampeyan dan mereka bisa nulis seperti itu,
mengutip banyak pandangan dan kata-katanya selalu apik?” Ia menjawab dengan
muka diserius-seriusin “Itu karna mereka sering baca.” Emm, kesimpulannya saya
harus memperbanyak bacaan lalu mengutip ke dalam tulisan saya.
Leave a Reply