Selasa, 29 Maret 2016

Kata sang tetua

Tak seperti biasanya hari ini saya sungguh malas berlama-lama di sekret. Belum tau alasannya, bisa jadi karena saya bosan harus melihat wajah-wajah yang itu lagi dan lagi. Atau mungkin karena si sialan itu. Jika benar ingin ku pisuhhi dia. Dasar bangsat kau! SEPI yang sialan. Tega-teganya dirimu hanya menyisakan suara kipas, decitan kayu, gerutuan tikus, perut embul ketum, dan lebih parah lagi wajah pengharapan sang tetua akan sentuhan lembut dan cipokan wanita menggairahkan, sialnya itu hanya harapan semu diantara perdebatannya dengan kursi-kursi kelas. SEPI yang tak berpri keramaian, mencoba kelabui saya melupakan kesepian melalui dua manusia abstrak (sesuatu yang dapat dilihat ,kata sang tetua). Hampir setiap hari, dari perut masih keroncongan sampai rasa mual karena guyonan mereka. Rutinitas tanpa pikir di sekret.
Kadang kala kepelongoan mendominasi. Jika sudah bosan, kisah di kamar mandi jadi topik pembicaraan, jika sudah tak menarik lagi keanehan diri sendiri jadi perdebatan tak berujung. Misal saja, story telling tersingkat pimred, perut embul usman, celetukan maut sekum, dan sang tetua yang selalu mondar-mandir untuk mengusir kebosanan. Tapi sayangnya, emhh.. karna yang disayang sedang tidak disisi. Bukan-bukan itu. Maksudnya, disayangkan keambiguan ini terlalu sering terjadi diantara kami bertiga “aku yang paling cantik”, perut embul dan sang tetua. Hanya bertiga di ruang remang, selonjoran berbantal kapuk yang lapuk. Untung iler tak pernah ikut campur. Masih bisa dipastikan kondusif.
Lanjut dan berlanjut, rutinitas penuh intuisi. Ketidakjelasan semakin membabi buta tepatnya kemarin. Vidio klip perangsang dari negeri barat membuka tabir kepolosan otak-otak kami bertiga. Diawali dengan selangkangan lalu ... (susah mengungkapkannya dalam kata-kata). Hingga celetukan manja sang tetua sedikit melaknat mbak Hira, “Emm kon Hir, adekmu mbok ajari nonton koyok ngenean.” Cuman tawa yang menjawab. Ya meskipun obrolan kami terlihat tidak etis dan melencengkan moral bagi sebagian orang atau mahasiswa lain, tapi saya sungguh MENIKMATINYA. Bukan tontonannya tapi KEBERSAMAANNYA. Seru untuk beberapa puluh menit, hingga kebosanaan kembali menggurui. Untungnya bosan yang datang, bukan sialan si SEPI. Lalu sang tetua kembali mencoba untuk meraimakan kembali dengan membuka blog kawan-kawan. Ya beberapa jadi sasaran bacaannya. Di baca dengan lantang seperti pendongeng. Ehh mungkin sang tetua terlalu lama hidup di negeri dongeng. Hadeeh. Hingga blogku jadi sasaran selanjutnya.
“Lembah Melupa.” sang tetua, terlalu lantang menyuarakannya. ia bilang tulisanku pendek-pendek. Benar-benar pendek.  Bukan hanya sang tetua yang bilang tapi beberapa teman juga. Heh, agak nelangsa sebenarnya. Memang saya pribadi merasa sulit untuk menulis narasi yang panjang-panjang paling poll ya, 700 kata itupun untuk laporan utama di buldock. Kadang mengiri pada tulisan-tulisan panjang dan berisi layaknya tulisan sang tetua dan beberapa temannya yang diam-diam saya kagumi. Selalu mengikuti postingan terbaru mereka dan akhirnya berdecak kagum. Ingin hati seperti itu tapi sikil, skill maksudnya tidak sampai. Tapi saya akan terus menulis mencoba dan coba-coba. Sempat saya tanyakan pada tetua “Kenapa ya mas sampeyan dan mereka bisa nulis seperti itu, mengutip banyak pandangan dan kata-katanya selalu apik?” Ia menjawab dengan muka diserius-seriusin “Itu karna mereka sering baca.” Emm, kesimpulannya saya harus memperbanyak bacaan lalu mengutip ke dalam tulisan saya.

Leave a Reply