You Are At The Archives for Juni 2016

Jumat, 24 Juni 2016

Pemerataan untuk Air di Yogyakarta

“Air tanahmu adalah nyaniyan kering tentang keabadian hotelmu adalah misteri semesta.” (remix-soe hok gie), ungkapan kekecewaan masyarakat Yogyakarta terhadap penguasaan air oleh pihak hotel  dilukiskan dalam mural di cuplikan film dokumenter Belakang Hotel produksi WATCHDOC. 
Film Dokumenter "Belakang Hotel" 
Pembangunan hotel yang menjamur membuat geram masyarakat. Salah satunya adalah warga kecamatan Miliran yang tinggal bersebelahan dengan Hotel Fave, setahun lalu melakukan aksi protes karena setelah dua tahun Hotel Fave berdiri sumur warga jadi asat (kering), pihak hotel yang menggunakan sumur bor hingga ke tanah bagian dalam menyebabkan sumur tradisional warga yang kedalamannya hanya sampai tanah dangkal ikut tersedot. Asatnya sumur membuat warga jadi kalang kabut karena sebagian besar rumah tangga di kota Yogykarta menggunakan sumur tradisional untuk urusan MCK.
            Dodok salah satu warga Miliran sempat menggelar aksi protes dengan mandi pasir di depan Hotel Fave. “…saya hanya berpedoman pada hukum UUD 45 pasal 33, bahwa bumi air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh negara dan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat bukan untuk Hotel Fave.” ucap Dodok ditengah-tengah sesi wawancara setelah menggelar aksi. Dugaan penyebab asatnya sumur warga Miliran terbukti, selang seminggu setelah penutupan sumur bor/arteri Hotel Fave, air warga Miliran kembali lancar meskipun musim penghujan belum datang. Maka dapat disimpulkan kemarau panjang bukan faktor utama dari asatnya sumur warga Miliran seperti yang disampaikan pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH). (film Dibelakang Hotel, 2014). Diperhitungkan 1 kamar hotel rata-rata memerlukan 380 liter air/hari, sedangkan rumah tangga hanya memerlukan rata-rata 300 liter air/hari dan 1 hotel biasanya memiliki ratusan kamar, ditambah lagi tahun 2014 wisatawan dalam maupun luar negeri mengalami kenaikan yang signifikan.
Baca selengkapnya »

Mereka Wanita Yang Terlupakan

Buku yang mengisahkan
              kehidupan Jugun Inafu
Sekitar 200.000 perempuan Asia berumur 13 tahun keatas menjadi budak seks di masa jajahan Jepang. Jugun Ianfu atau Perempuan penghibur yang ikut militer sebutannya saat itu. Ianjo (tempat lokalisasi) jadi saksi bisu jeritan perempuan-perempuan belia. Bilik-bilik kamar dingin tak berkata saat serdadu Jepang mulai melorotkan celana tentaranya lalu menyiksa batin dan fisik Jugun Ianfu dengan birahi kebinatangannya. Bukan hanya satu, namun 10-20 serdadu Jepang yang meniduri seorang Jugun Ianfu dalam sehari.Tahun 1942-1945 merupakan masa kelam bagi sebagian perempuan di Indonesia khusunya dia yang berwajah cantik. Digiring dengan truck melewati jalan, kota hingga pulau menjauh dari kampung halaman. Tanpa tahu dibawa kemana perempuan-perempuan itu hanya berharap mendapat pekerjaan yang layak. Seperti pemain sandiwara atau pelayang atau pembantu. Padahal tanpa mereka tahu, akan dijadikan sebagai budak seks bagi serdadu Jepang. Penipuan mengawali penderitaan perempuan Jugun Ianfu.
Kesaksiaan pilu tergambar jelas dari guratan keriput di wajah Mardiyem salah satu korban dalam tragedi perbudakaan seks oleh Jepang. Dalam buku “Momoye: Mereka Memanggilku” dikisahkan perjuangan Mardiyem dan kawan-kawanya saat menjadi budak seks hingga perjuangannya meminta pertanggung jawaban atas kejahatan masa lalu yang dilakukan Jepang. Tak mudah menjalani hidup senagai mantan Jugun Ianfu kemiskinan, stigma, dan penghakiman moral menjerat mereka. Stigma negatif muncul dilingkungan masyarakat, anggapan perempuan kotor masih jadi bahan obrolan dan sindiran lalu didiskriminasi.
“...sampai saat ini masih terjadi stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para wanita eks Jugun Ianfu, yakni sebagai wanita penghibur dan pekerja seks.” anggota Komnas HAM, Hesti Armiwulan. (news.detik.com, dimuat tahun 2010)
Baca selengkapnya »