Mereka Wanita Yang Terlupakan
Buku yang mengisahkan kehidupan Jugun Inafu |
Kesaksiaan pilu
tergambar jelas dari guratan keriput di wajah Mardiyem salah satu korban dalam
tragedi perbudakaan seks oleh Jepang. Dalam buku “Momoye: Mereka Memanggilku”
dikisahkan perjuangan Mardiyem dan kawan-kawanya saat menjadi budak seks hingga
perjuangannya meminta pertanggung jawaban atas kejahatan masa lalu yang
dilakukan Jepang. Tak mudah menjalani hidup senagai mantan Jugun Ianfu
kemiskinan, stigma, dan penghakiman moral menjerat mereka. Stigma negatif
muncul dilingkungan masyarakat, anggapan perempuan kotor masih jadi bahan
obrolan dan sindiran lalu didiskriminasi.
“...sampai saat ini masih terjadi stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para wanita eks Jugun Ianfu, yakni sebagai wanita penghibur dan pekerja seks.” anggota Komnas HAM, Hesti Armiwulan. (news.detik.com, dimuat tahun 2010)
Mardiyem dan beberapa
kawannya mencoba untuk mengklarifikasi dengan menuntut Jepang untuk meminta
maaf secara resmi pada korban-korbannya. Namun usaha Mardiyem untuk meminta
keadilan tidaklah mudah. Tahun 1997, Soeharto seolah-olah tutup mata,
menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai. Dengan menyetujui dan menerima
dana santunan bagi korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun
dari Asian Women’s Fund (AWF) organisasi swasta Jepang oleh Menteri Sosial
Inten Suweno. Dituding organisasi AWF sengaja di bentuk untuk meredam protes
masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi.
Disamping itu, banyak korban yang mengaku tidak pernah menerima santunan
tersebut. Ironis memang.
Perjuangan Mardiyem tak
pernah berhenti hingga ia mampu bersaksi dalam Pengadilan Internasional
Kejahatan dalam Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang
Selama Perang Dunia II, atau The Tokyo Tribunal, 8-12 Desember 2000. Setelah kematian
Mardiyem di tahun 2007 seluruh jejak perjuangannya seakan lenyap. Agaknya
pemerintah kehilangan empati terhadap sejarah dan pembelaan terhadap kaum-kaum
marjinal seperti Mardiyem.
"Namun, kondisi di Indonesia berbeda, sebab pemerintah sepertinya tidak memiliki empati terhadap perjuangan para ’jugun ianfu’, bahkan tidak ada dukungan atas upaya yang dilakukan sejumlah pihak, termasuk kami," ucap Direktur Independent Legal Aid Institute (ILAI) Yogyakarta, Budi Santoso. (nasional.kompas.com, dimuat tahun 2010)
Padahal, kurang lebih
ada 25.000 eks Jugun Ianfu yang berada di Yogyakarta dan Bandung (Data Komnas
HAM,2010), yang masih membutuhkan pengakuan bahwa ada pelanggaran HAM,
permintaan maaf dari Jepang secara resmi dan jaminan hal tersebut tidak akan
terulang. Keenganan pemerintah untuk
memberikan affirmative action atau perhatian khusus kepada para eks Jugun
Ianfu, bahwasanya hal tersebut adalah aib yang seharusnya tidak
digembor-gemborkan. Dibiarkan menjadi sejarah yang terkubur.
Tak ayal jika saat ini
perbudakaan seks moderen berkembang pesat di Indonesia bercabang-bercabang di
setiap daerah. Membentuk koloninya sendiri-sendiri, di pinggir kali, pemukiman
kumuh, pinggir jalan, hotel-hotel atau desa-desa. Istilah kerennya sekarang adalah Pekerja Seks
Komersial (PSK) atau sering disebut pelacur. Sistemnya tak jauh beda dengan
perbudaakaan 73 tahun silam. Memperjual belikan perempuan, ada yang sukarela,
terpaksa bahkan di jebak (di iming-imingi pekerjaan layak padahal dijadikan
pelacur). Seperti yang diungkapkan seorang wanita eks pelacur gang dolly di
mata najwa, bahwa ia telah ditipu. Bukan mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu
tapi sebagai pelacur. Sempat ada penolakan dalam dirinya, namun karena keadaan
ekonomi memaksa dia untuk tetap bertahan sebagai pelacur. Lagi-lagi ironis.
Jika berkaca pada masa
lalu, tak heran jika sekarang pemerintah tak serius mengatasi masalah ini,
kaum-kaum feminisme seolah-olah di kesampingkan menyangkut masalah-masalah
seperti ini. Misalnya saya dengan Kabupaten Jember, yang dinobatkan penyubang
terbanyak ketiga untuk pengidap penyakit HIV/Aids sekitar 750 kasus. Pemerintah
daerah Jember tak pernah serius menangani pelacuran, penutupan lokalisasi tahun
2000 di kabupaten puger tak pernah ada keberlanjutan. Bagaimana nasib PSK
tersebut dan upaya untuk memberikan pelatihan dan modal bagi PSK juga tidak
jelas juntrungnya.
Nasib Jugun Ianfu dan
PSK masa kini sangat bergantung pada pemerintah. Jika Jugun Ianfu perlu
pertanggung jawaban berupa pemulihan seperti keadaan semula, kompensasi,
rehabilitas, permintaan maaf dan jaminan tidak terulang kejahatan serupa. Maka
PSK masa kini, perlu pelatihan dan pekerjaan yang layak, rehabilitas,
mengadakan diskusi yang dapat merubah mindset eks pelacur dan pembersihaan
tempat lokalisasi dengan pengalihan fungsi misal sebagai tempat usaha.
Pemantauan secara berkelanjutan juga perlu dilakukan pemerintah dengan
bekerjasam sama dengan lembaga-lembaga masyarakat setempat yang fokus pada
keperempuaan. Terpenting adalah langkah konkrit pemerintah dalam menanggulangi
hal tersebut, melihat secara subjektif bahwa pelacur juga manusia yang perlu
dibela haknya karena tekanan psikis maupun fisik akan terus membekas meskipun
sudah dikubur dalam-dalam.
Leave a Reply