Jumat, 24 Juni 2016

Mereka Wanita Yang Terlupakan

Buku yang mengisahkan
              kehidupan Jugun Inafu
Sekitar 200.000 perempuan Asia berumur 13 tahun keatas menjadi budak seks di masa jajahan Jepang. Jugun Ianfu atau Perempuan penghibur yang ikut militer sebutannya saat itu. Ianjo (tempat lokalisasi) jadi saksi bisu jeritan perempuan-perempuan belia. Bilik-bilik kamar dingin tak berkata saat serdadu Jepang mulai melorotkan celana tentaranya lalu menyiksa batin dan fisik Jugun Ianfu dengan birahi kebinatangannya. Bukan hanya satu, namun 10-20 serdadu Jepang yang meniduri seorang Jugun Ianfu dalam sehari.Tahun 1942-1945 merupakan masa kelam bagi sebagian perempuan di Indonesia khusunya dia yang berwajah cantik. Digiring dengan truck melewati jalan, kota hingga pulau menjauh dari kampung halaman. Tanpa tahu dibawa kemana perempuan-perempuan itu hanya berharap mendapat pekerjaan yang layak. Seperti pemain sandiwara atau pelayang atau pembantu. Padahal tanpa mereka tahu, akan dijadikan sebagai budak seks bagi serdadu Jepang. Penipuan mengawali penderitaan perempuan Jugun Ianfu.
Kesaksiaan pilu tergambar jelas dari guratan keriput di wajah Mardiyem salah satu korban dalam tragedi perbudakaan seks oleh Jepang. Dalam buku “Momoye: Mereka Memanggilku” dikisahkan perjuangan Mardiyem dan kawan-kawanya saat menjadi budak seks hingga perjuangannya meminta pertanggung jawaban atas kejahatan masa lalu yang dilakukan Jepang. Tak mudah menjalani hidup senagai mantan Jugun Ianfu kemiskinan, stigma, dan penghakiman moral menjerat mereka. Stigma negatif muncul dilingkungan masyarakat, anggapan perempuan kotor masih jadi bahan obrolan dan sindiran lalu didiskriminasi.
“...sampai saat ini masih terjadi stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para wanita eks Jugun Ianfu, yakni sebagai wanita penghibur dan pekerja seks.” anggota Komnas HAM, Hesti Armiwulan. (news.detik.com, dimuat tahun 2010)
Mardiyem dan beberapa kawannya mencoba untuk mengklarifikasi dengan menuntut Jepang untuk meminta maaf secara resmi pada korban-korbannya. Namun usaha Mardiyem untuk meminta keadilan tidaklah mudah. Tahun 1997, Soeharto seolah-olah tutup mata, menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai. Dengan menyetujui dan menerima dana santunan bagi korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun dari Asian Women’s Fund (AWF) organisasi swasta Jepang oleh Menteri Sosial Inten Suweno. Dituding organisasi AWF sengaja di bentuk untuk meredam protes masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi. Disamping itu, banyak korban yang mengaku tidak pernah menerima santunan tersebut. Ironis memang.
Perjuangan Mardiyem tak pernah berhenti hingga ia mampu bersaksi dalam Pengadilan Internasional Kejahatan dalam Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang Selama Perang Dunia II, atau The Tokyo Tribunal, 8-12 Desember 2000. Setelah kematian Mardiyem di tahun 2007 seluruh jejak perjuangannya seakan lenyap. Agaknya pemerintah kehilangan empati terhadap sejarah dan pembelaan terhadap kaum-kaum marjinal seperti Mardiyem.
"Namun, kondisi di Indonesia berbeda, sebab pemerintah sepertinya tidak memiliki empati terhadap perjuangan para ’jugun ianfu’, bahkan tidak ada dukungan atas upaya yang dilakukan sejumlah pihak, termasuk kami," ucap Direktur Independent Legal Aid Institute (ILAI) Yogyakarta, Budi Santoso. (nasional.kompas.com, dimuat tahun 2010)
Padahal, kurang lebih ada 25.000 eks Jugun Ianfu yang berada di Yogyakarta dan Bandung (Data Komnas HAM,2010), yang masih membutuhkan pengakuan bahwa ada pelanggaran HAM, permintaan maaf dari Jepang secara resmi dan jaminan hal tersebut tidak akan terulang.  Keenganan pemerintah untuk memberikan affirmative action atau perhatian khusus kepada para eks Jugun Ianfu, bahwasanya hal tersebut adalah aib yang seharusnya tidak digembor-gemborkan. Dibiarkan menjadi sejarah yang terkubur.
Tak ayal jika saat ini perbudakaan seks moderen berkembang pesat di Indonesia bercabang-bercabang di setiap daerah. Membentuk koloninya sendiri-sendiri, di pinggir kali, pemukiman kumuh, pinggir jalan, hotel-hotel atau desa-desa.  Istilah kerennya sekarang adalah Pekerja Seks Komersial (PSK) atau sering disebut pelacur. Sistemnya tak jauh beda dengan perbudaakaan 73 tahun silam. Memperjual belikan perempuan, ada yang sukarela, terpaksa bahkan di jebak (di iming-imingi pekerjaan layak padahal dijadikan pelacur). Seperti yang diungkapkan seorang wanita eks pelacur gang dolly di mata najwa, bahwa ia telah ditipu. Bukan mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu tapi sebagai pelacur. Sempat ada penolakan dalam dirinya, namun karena keadaan ekonomi memaksa dia untuk tetap bertahan sebagai pelacur. Lagi-lagi ironis.
Jika berkaca pada masa lalu, tak heran jika sekarang pemerintah tak serius mengatasi masalah ini, kaum-kaum feminisme seolah-olah di kesampingkan menyangkut masalah-masalah seperti ini. Misalnya saya dengan Kabupaten Jember, yang dinobatkan penyubang terbanyak ketiga untuk pengidap penyakit HIV/Aids sekitar 750 kasus. Pemerintah daerah Jember tak pernah serius menangani pelacuran, penutupan lokalisasi tahun 2000 di kabupaten puger tak pernah ada keberlanjutan. Bagaimana nasib PSK tersebut dan upaya untuk memberikan pelatihan dan modal bagi PSK juga tidak jelas juntrungnya.    
Nasib Jugun Ianfu dan PSK masa kini sangat bergantung pada pemerintah. Jika Jugun Ianfu perlu pertanggung jawaban berupa pemulihan seperti keadaan semula, kompensasi, rehabilitas, permintaan maaf dan jaminan tidak terulang kejahatan serupa. Maka PSK masa kini, perlu pelatihan dan pekerjaan yang layak, rehabilitas, mengadakan diskusi yang dapat merubah mindset eks pelacur dan pembersihaan tempat lokalisasi dengan pengalihan fungsi misal sebagai tempat usaha. Pemantauan secara berkelanjutan juga perlu dilakukan pemerintah dengan bekerjasam sama dengan lembaga-lembaga masyarakat setempat yang fokus pada keperempuaan. Terpenting adalah langkah konkrit pemerintah dalam menanggulangi hal tersebut, melihat secara subjektif bahwa pelacur juga manusia yang perlu dibela haknya karena tekanan psikis maupun fisik akan terus membekas meskipun sudah dikubur dalam-dalam.

Leave a Reply