Kata sang tetua
Tak seperti
biasanya hari ini saya sungguh malas berlama-lama di sekret. Belum tau
alasannya, bisa jadi karena saya bosan harus melihat wajah-wajah yang itu lagi
dan lagi. Atau mungkin karena si sialan itu. Jika benar ingin ku pisuhhi dia. Dasar bangsat kau! SEPI yang
sialan. Tega-teganya dirimu hanya menyisakan suara kipas, decitan kayu, gerutuan
tikus, perut embul ketum, dan lebih parah lagi wajah pengharapan sang tetua
akan sentuhan lembut dan cipokan wanita
menggairahkan, sialnya itu hanya harapan semu diantara perdebatannya dengan
kursi-kursi kelas. SEPI yang tak berpri keramaian, mencoba kelabui saya
melupakan kesepian melalui dua manusia abstrak (sesuatu yang dapat dilihat ,kata
sang tetua). Hampir setiap hari, dari perut masih keroncongan sampai rasa mual
karena guyonan mereka. Rutinitas tanpa
pikir di sekret.
Kadang kala kepelongoan
mendominasi. Jika sudah bosan, kisah di kamar mandi jadi topik
pembicaraan, jika sudah tak menarik lagi keanehan diri sendiri jadi perdebatan
tak berujung. Misal saja, story telling tersingkat pimred, perut embul usman,
celetukan maut sekum, dan sang tetua yang selalu mondar-mandir untuk mengusir
kebosanan. Tapi sayangnya, emhh.. karna yang disayang sedang tidak disisi. Bukan-bukan
itu. Maksudnya, disayangkan keambiguan ini terlalu sering terjadi diantara kami
bertiga “aku yang paling cantik”, perut embul dan sang tetua. Hanya bertiga di
ruang remang, selonjoran berbantal kapuk yang lapuk. Untung iler tak pernah ikut campur. Masih bisa
dipastikan kondusif.
Baca selengkapnya »