Selasa, 20 Desember 2016

Kenangan Terindah dari Maya*

YANG TIDAK pernah kusangka sebelumnya.

Tujuh tahun lalu di masa biru putih. Aku mengenal Maya, perempuan berbadan montok, berkulit putih, berambut pendek dan bertai lalat di atas bibir. Ia adalah seseorang yang mampu memberikan makna pada sebuah ketidaksengajaan dan sesuatu yang  dianggap tidak sopan. Mengubah sedikitnya pola pikirku mengenai hal berbau dan berbunyi yang asalnya dari belakang, yaitu Kentut.

Sungguh kuucapkan banyak terima kasih pada Maya. Tidak hanya memberikan pelajaran berharga tapi ia juga memberikan kenangan terindah yang tak pernah aku lupakan sampai sekarang. Kenangan yang melebihi nyanyian mantan di tengah malam dan kecupan lembut di kening.

Kala itu aku, Maya dan tujuh teman lainnya sedang latihan senam untuk tugas akhir kelas 1 SMP. Kami sudah berlatih cukup keras dan ini latihan ketiga kalinya. Pelatih senam dengan baju ketatnya sudah memimpin di depan. Kami dengan segera mengatur barisan dan aku berada tepat di belakang Maya dengan jarak setengah meter. Musik di setel. Senam akan berlangsung sekitar 30 menit. Pelatih dengan santai memeragakan gerakan pemanasan, kami semua mengikuti dengan seksama. Waktu sudah berjalan 10 menit untuk pemanasan. Dilanjutkan dengan gerakan cepat fase tengah senam selama 15 menit. Kami cukup sulit mengikutinya dan kerap kali bertabrakan. Fase terakhir adalah pendinginan. Gerakan lambat dan pelan merenggangkan otot-otot yang tegang. Pada salah satu gerakan pelatih memeragakan, dua tangan yang di tarik kedepan menundukkan setengah badan. Terasa sekali gerakan itu menarik otot sekitar pantat hingga betis. Dan saat kami sudah berada pada bentuk yang sama persis dengan pelatih.
“Duuuuuuuuuuuut.”  suara lain keluar diantara musik mendayu-dayu.
Seketika semua terdiam, beku. Mencari asal suara yang ternyata berasal dari Maya. Kami semua melihat ke arahnya, kemudian tertawa terbahak-bahak seketika barisan senam buyar. Aku tertawa terpingkal-pingkal sampai gulung-gulung dilantai. Air mata kesenangan jatuh bercampur dengan sisa-sisa keringat. Mulutku kaku dan mukaku merah. Itu adalah ketawa paling lepas dan terlama yang pernah aku alami.  Maya hanya tersenyum malu-malu melihat kami semua tertawa. Jujur tertawaku yang paling parah.

Dari kejadian tersebut aku belajar bahwa, di-kentut-i tak selamanya menyebalkan. Maya memberikan arti kesenangan disana. Kentut bisa membuat kami semua tertawa bersama. Sejak saat itu hubunganku dengan Maya menjadi lebih dekat dan Maya jauh lebih dikenal karna kentutnya, bukan lagi karna tai lalat besar di atas bibirnya. 

Ngomong-ngomong soal tai lalat Maya. Usut punya usut, sekarang ia menjadi salah satu anggota Komunitas Tompel se-Indonesia (KTI) di bawah kepengurusan tiga kawan yang juga aku kenal cukup dekat. Mereka adalah Faiz si bapak dekonstruksi, Rossi ibu negara api dan seorang lagi yang disembunyikan identitasnya. Dan semoga komunitas ini tetap berada pada jalan yang lurus.   

Setelah ini mungkin Maya bisa membentuk komunitas baru mengenai ke-kentut-an bersama ahli psikologi kentut, bapak Basit. Untuk urusan pengkaderan bisa saya bantu nanti.  


*Tulisan ini merupakan hasil tantangan Writting Challange bertema Kentut' 

Sabtu, 24 September 2016

Njiir! Pahit kopiku.


Malam sendu bukan “suka sundel” loh ya, sehabis hujan di sabtu malam. Hari ini aku tidak keluar kosan untuk bertemu cecunguk-cecunguk kecil ataupun mengujungi tempat pertapaan. Molak-malek di atas tempat tidur tanpa seprei berjam-jam itu kegiatanku seharian. Menyenangkan bukan? (apanya yang menyenangkan, galau yang iya. Keinget mantan) hati kecilku berkata demikian. Fiyuuh. Untung nggak ada lagu keputusasaan yang biasanya kalo malem-malem gini disetel sama penghuni kamar kosan sebelah, namanya and*ra dia udah putus sama laki-laki pujaannya sejak setahun lalu tapi belum bisa move on. Gile kan. Aku agak pesimis bisa move on dari mantan (dia pacar pertamaku). Hiks. Aku pikir dia yang pertama dan terakhir, (lak cie inget lagunya sherina) ternyata... zonk. Oke-oke sudahlah mungkin ini memang jalan takdirku mencintai tanpa dicintai (yah, lirik lagu lagi). Hiks.
Kembali ke jalan yang seharusnya. Alasan hari ini gak keluar kamar sama sekali kecuali pas boker dikarenakan diriku sedang malas-malasnya bertemu manusia, setengah manusia, apalagi yang bukan manusia (terkecuali binatang nan lucu atau tumbuhan yang berfotosintesis dan sesuatu yang enak). Sejak diklat terusaikan dan sepuluh anggota magang berstatus anggota tetap, kehampaan menyerang ke sanubari jiwa raga. Tak ada yang menarik lagi, hambar. Satu-satunya kawan yang terijinkan untuk menemani kehampaanku hanya Elok. Dia yang menemaniku ngopi sampai larut malam hingga pagi dan ngobrol ngalur ngidul. Menyebalkan. Terakhir aku bertemu Elok kemarin di bsxxvii cafe dijalan semanggi. Tak taulah malam itu aku sangat ingin kopi hitam pahit. Pesan dan memilih tempat duduk dekat jendela depan pintu masuk. Pembicaraan absrud dimulai, dari apa itu identitas nyambung ke jati diri lalu berakhir pada manusia itu apa.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya “Jeng-jeng” kopi datang beserta indomie goreng lengkap dengan telur mata sapi dan sayur sawi. Mancap. Seruput dulu kopinya, lidahku menangkap rasanya dan ternyata “KOK MANIS!” aku salah pesen, harusnya aku bilang tanpa gula. Yah gagal deh, menikmati malam yang pahit ini. Tapi indomie nya enak kok. Hehe. Sepertinya akan jadi tempat favorite. Lain kali harus bilang “tanpa gula.” Aku dan elok ngopi sampai tengah malam saja, sisanya ngopi bersama kawan-kawan plantarum sambil main UNO.  Setelah bosan kami semua memutuskan untuk kembali keperadaban mimpi dan malam itu diakhiri dengan salam perpisahaan mungkin saja besok tidak bertemu.
Dan memang benar hari ini aku tidak bertemu mereka, untuk malam ini ingin aku akhir dengan kopi pahit pekat yang kemarin tidak sempat terwujud. Aku nyeduh sendiri “Kopi kapal api tanpa gula dan kental” ditemani wafer nissin. Aku seruput dan rasanya terlalu pahit sampai batuk-batuk. Akhirnya tak terminum. Yah-yah mungkin aku yang tak pandai membuat kopi atau mungkin aku yang tak pandai menikmati kepahitan. Teh susu wae lah penak.


Kosan, 24 September 2016 sebelas malam

Jumat, 24 Juni 2016

Pemerataan untuk Air di Yogyakarta

“Air tanahmu adalah nyaniyan kering tentang keabadian hotelmu adalah misteri semesta.” (remix-soe hok gie), ungkapan kekecewaan masyarakat Yogyakarta terhadap penguasaan air oleh pihak hotel  dilukiskan dalam mural di cuplikan film dokumenter Belakang Hotel produksi WATCHDOC. 
Film Dokumenter "Belakang Hotel" 
Pembangunan hotel yang menjamur membuat geram masyarakat. Salah satunya adalah warga kecamatan Miliran yang tinggal bersebelahan dengan Hotel Fave, setahun lalu melakukan aksi protes karena setelah dua tahun Hotel Fave berdiri sumur warga jadi asat (kering), pihak hotel yang menggunakan sumur bor hingga ke tanah bagian dalam menyebabkan sumur tradisional warga yang kedalamannya hanya sampai tanah dangkal ikut tersedot. Asatnya sumur membuat warga jadi kalang kabut karena sebagian besar rumah tangga di kota Yogykarta menggunakan sumur tradisional untuk urusan MCK.
            Dodok salah satu warga Miliran sempat menggelar aksi protes dengan mandi pasir di depan Hotel Fave. “…saya hanya berpedoman pada hukum UUD 45 pasal 33, bahwa bumi air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh negara dan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat bukan untuk Hotel Fave.” ucap Dodok ditengah-tengah sesi wawancara setelah menggelar aksi. Dugaan penyebab asatnya sumur warga Miliran terbukti, selang seminggu setelah penutupan sumur bor/arteri Hotel Fave, air warga Miliran kembali lancar meskipun musim penghujan belum datang. Maka dapat disimpulkan kemarau panjang bukan faktor utama dari asatnya sumur warga Miliran seperti yang disampaikan pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH). (film Dibelakang Hotel, 2014). Diperhitungkan 1 kamar hotel rata-rata memerlukan 380 liter air/hari, sedangkan rumah tangga hanya memerlukan rata-rata 300 liter air/hari dan 1 hotel biasanya memiliki ratusan kamar, ditambah lagi tahun 2014 wisatawan dalam maupun luar negeri mengalami kenaikan yang signifikan.
Baca selengkapnya »

Mereka Wanita Yang Terlupakan

Buku yang mengisahkan
              kehidupan Jugun Inafu
Sekitar 200.000 perempuan Asia berumur 13 tahun keatas menjadi budak seks di masa jajahan Jepang. Jugun Ianfu atau Perempuan penghibur yang ikut militer sebutannya saat itu. Ianjo (tempat lokalisasi) jadi saksi bisu jeritan perempuan-perempuan belia. Bilik-bilik kamar dingin tak berkata saat serdadu Jepang mulai melorotkan celana tentaranya lalu menyiksa batin dan fisik Jugun Ianfu dengan birahi kebinatangannya. Bukan hanya satu, namun 10-20 serdadu Jepang yang meniduri seorang Jugun Ianfu dalam sehari.Tahun 1942-1945 merupakan masa kelam bagi sebagian perempuan di Indonesia khusunya dia yang berwajah cantik. Digiring dengan truck melewati jalan, kota hingga pulau menjauh dari kampung halaman. Tanpa tahu dibawa kemana perempuan-perempuan itu hanya berharap mendapat pekerjaan yang layak. Seperti pemain sandiwara atau pelayang atau pembantu. Padahal tanpa mereka tahu, akan dijadikan sebagai budak seks bagi serdadu Jepang. Penipuan mengawali penderitaan perempuan Jugun Ianfu.
Kesaksiaan pilu tergambar jelas dari guratan keriput di wajah Mardiyem salah satu korban dalam tragedi perbudakaan seks oleh Jepang. Dalam buku “Momoye: Mereka Memanggilku” dikisahkan perjuangan Mardiyem dan kawan-kawanya saat menjadi budak seks hingga perjuangannya meminta pertanggung jawaban atas kejahatan masa lalu yang dilakukan Jepang. Tak mudah menjalani hidup senagai mantan Jugun Ianfu kemiskinan, stigma, dan penghakiman moral menjerat mereka. Stigma negatif muncul dilingkungan masyarakat, anggapan perempuan kotor masih jadi bahan obrolan dan sindiran lalu didiskriminasi.
“...sampai saat ini masih terjadi stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para wanita eks Jugun Ianfu, yakni sebagai wanita penghibur dan pekerja seks.” anggota Komnas HAM, Hesti Armiwulan. (news.detik.com, dimuat tahun 2010)
Baca selengkapnya »

Sabtu, 07 Mei 2016

Saya Tidak Bisa Berenang

Berawal dengan permulaan yang asal-asalan dan pengakhiran tak pasti, terkecuali kematian. Menghirup kepulan uap air mendidih, dua telur saling berbenturan memecah gelembung rapuh. Ia berdiri sedikit menjauh. Api kompor sudah terlalu mengganggu pandangannya. Tangan pasi mendingin bercorak urat kehidupan menyeka air kesedihan yang begitu saja jatuh dari mata kirinya. Seorang khayal berbisik dari samping, "Kau harus tetap hidup".
Hari ini tidak ada bulan, mendung yang sejak sore menitikan butiran air dari langit sang pencipta menghalanginya. Tanah masih basah, petrikor menyejukkan udara. Wajahku masih menatap hitam hanya beberapa titik yang bersinar satu, dua, empat, dan lima jariku menghitung. Pikirku mengarungi dunia hayal, angin berhembus menggoda ajak lalui kelabilan waktu. Beberapa kata muncul disusul kalimat berdebur memanahkan seribu anak panah membawa juntaian benang warna-warni namun hitam jadi mayornya. Saling bersalipan, bergulung tak aturan dan mengikat satu sama lain terkumpul di ruang batok, membekukan otak dan retak. Suara kehilangan katanya, umpatan merundung nurani. Eufemisme menumpul rajutan halus enggan untuk menafsirkan absurditas pola pikir yang tak lagi berpola. Sungguh ini paragraf acak, berlompat-lompat.
Baca selengkapnya »

Rabu, 13 April 2016

...

“Saat kita menemukan dunia ini terlalu buruk, kita butuh mengungsi ke dunia lain.” 
(Gustave Flaubert)
     Manusia-manusia insomnia belum usai menyeruput kopi arabica gold. Dini hari sudah menusuk tulang, namun tangan masih sibuk mengaduk kopi dengan takaran bubuk 20 gram tak boleh kurang, tak boleh lebih kata boss. “Mbak pesen arabica gold dua.” minta seorang pelanggan yang baru datang sekitar jam dua pagi. Tawa mereka, menyimpulkan apologi bahwa istri-istri tak kan marah jika suaminya ngopi sampai pagi. Arabica gold jadi primadona malam ini, berlenggak lenggok layaknya model berparas pahit, berjalan diantara lidah. Wajah kantuk para insomnia jadi bergairah. Agaknya lebih memikat daripada tubuh bohay sang istri, mungkin aroma kopi lebih nikmat.
    Asap rokok mengepul, bersalip dengan angin malam. Coba rasuki selah-selah otakku melalui lubang hidung. Pikirku yang sumpek sejak kemarin-kemarin berakumulasi, tidak bisa direduksi dan terjebak di “Wakrop Mbah Mo”. Beberapa bulan ini hidup saya sedang tidak bersahabat. Indah yang dulu, sekarang tlah hilang, kabur bersama waktu yang menguji. Resahku kambuhan, pribadiku semakin tak jelas. Mi instan yang tiap hari mengkritingi lambung, aku pun tak peduli. Biar sakit lalu mati. Mati pun aku tak peduli, biar hidup seribu tahun pun. Akhirnya neraka jadi persinggahan, lamanya hanya DIA yang tahu. Lagi-lagi eksistensi yang mendahului esensi, akan di putus oleh realita. 
    Malam itu, setelah menangis sejadi-jadinya di depan salah seorang teman, aku ingin tidur. Namun apadaya, ini keharusan untuk tetap terjaga. Melamun lalu tenggelam dalam prasangka akibat tindihan masalah. Malam ini, juga malam-malam sebelumnya selalu sama. Absurd terkonstruksi mengisi setiap ruang dalam otak, tak karuan. Arsitektur kehilangan seninya. Pesimistis untuk bangun. Aku lelah menabik problematika urip. Urip tak kasihan pada saya. Urip jahat. Nggak tak bolo awakmu, rip-urip. Babano. 
Baca selengkapnya »