Saya Tidak Bisa Berenang
Berawal dengan permulaan yang asal-asalan dan pengakhiran tak pasti, terkecuali kematian. Menghirup kepulan uap air mendidih, dua telur saling berbenturan memecah gelembung rapuh. Ia berdiri sedikit menjauh. Api kompor sudah terlalu mengganggu pandangannya. Tangan pasi mendingin bercorak urat kehidupan menyeka air kesedihan yang begitu saja jatuh dari mata kirinya. Seorang khayal berbisik dari samping, "Kau harus tetap hidup".
Hari ini tidak ada bulan, mendung
yang sejak sore menitikan butiran air dari langit sang pencipta menghalanginya. Tanah masih
basah, petrikor menyejukkan udara. Wajahku masih menatap hitam hanya beberapa
titik yang bersinar satu, dua, empat, dan lima jariku menghitung. Pikirku
mengarungi dunia hayal, angin berhembus menggoda ajak lalui kelabilan waktu.
Beberapa kata muncul disusul kalimat berdebur memanahkan seribu anak panah
membawa juntaian benang warna-warni namun hitam jadi mayornya. Saling
bersalipan, bergulung tak aturan dan mengikat satu sama lain terkumpul di ruang
batok, membekukan otak dan retak. Suara kehilangan katanya, umpatan merundung
nurani. Eufemisme menumpul rajutan halus enggan untuk menafsirkan absurditas
pola pikir yang tak lagi berpola. Sungguh ini paragraf acak, berlompat-lompat.
Segeralah tengah malam, lewati duapuluh kemungkinan
menyebalkan sisakan empat untuk menenangkan. Tapi jangan buru-buru pagi apalagi
siang. Berisik! teriakkan manusia normal yang berpatri pengakuan terlalu
mendominasi. Berlomba-lomba jilati kaki-kaki dewa kampus lalu menganga berharap
lemparan “A” sesial-sialnya “B”. Kata berhala, itu jaminan masa depan
kebanyakan para toga. Saya tetap berada di ambang pintu, liur-liur meluber ke
lantai. Sangat menjijikan. Jika kaki ini tidak terikat sudah berlari kecang
sejak dulu dan sejauh-jauhnya. Meninggalkan setumpuk fotocopyan buku kuliah yang
tak pernah menarik. Rutinitas buntu.
Berjalan lambat di waktu yang cepat. Semesta
akhir-akhri ini tidak berevolusi semestinya. Kau yang mengandung, berhentilah
memaksa. Saya tau, saya berhutang budi. Rahimmu dulu mungkin sangat nyaman.
Tapi bisakah kau tidak berteriak. Kau yang berkeringat banting tulang. Saya
tau, saya berhutang budi. Pundakmu dulu mungkin sangat hangat. Tapi bisakah kau
tidak berteriak. Kenapa kalian suka berteriak? Tidakkah bosan. Jika saya bisa
pergi, akan saya lakukan.
Lalu masih banyak, masih banyak. Aporia! Mungkin terlalu muna tapi ketidakpuasanku mengalir
terlalu deras dan saya tenggelam di dalamnya. Saya tidak bisa berenang, khayal. Bagaimana saya
bisa tetap hidup.
Leave a Reply