Selasa, 08 Maret 2016

Hidup Itu Bekerja Jika Tidak, Bukan Hidup Namanya

“Setetes keringat pasti membawa manfaat,minimal apa yang kita kerjakan berguna untuk diri sendiri.” ucapnya 

Hari itu adalah pertemuan kedua kami, seperti biasa ripped jeans dan kaos berangkap kemeja serta tas selempang mengemas apik tubuh tingginya. Santai dan agak sedikit berantakan mungkin ungkapan yang tepat. Manusia ramah itu selalu mengumbar senyumannya, tak terkecuali padaku orang yang baru ia kenal tiga hari lalu. Affrizal Genter sebut saja itu nama kerennya karna yang terterah di akte adalah Afrizal Andifahmi. Sempat aku tanyakan via maya, apa arti genter?  “Genter itu nama panggilan mulai SMP gara-gara basket, awalnya pelatihku yang manggil gitu akhirnya semua ikut-ikutan.” jelasnya. Jika dalam bahasa Jawa, Genter artinya kayu panjang yang digunakan untuk mengambil buah di atas pohon alias senggek. Mungkin karna badannya yang tinggi tegap julukan seperti itu muncul. Nama aslinya yaitu Afrizal diambil dari nama seorang pahlawan Filipina Joze Rizal yang pemberani dan multitalenta sedangkan Andi adalah nama almarhum ayahnya dan Fahmi merupakan nama teman ibunya yang sangat jenius. Jika nama adalah sebuah doa, tak salah jika orangtua Afrizal berharap dia menjadi seorang laki-laki yang pemberani dan multitalenta seperti Jose Rizal serta cerdas.
Afrizal lahir di De Kleine Zwitserland atau Swiss Kecil di Pulau Jawa sebutan untuk kota Batu, Malang tepatnya pada tanggal 21 September 1994.  Selama enam tahun ia tinggal bertiga bersama kakek dan neneknya di kota itu. Tanpa menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), ia memasuki sekolah dasar madrasah. “Waktu SD di Batu, aku hampir nggak naik kelas untungnya aku pindah ke Jember dan bisa naik kelas.” ungkapnya.  Tahun 2000 ia pindah ke Jember dan hidup menetap bersama orang tua dan kakak perempuannya. “Dulu aku kira kakek nenek itu adalah orang tuaku” jelasnya. Ia dititipkan sementara di Batu bersama kakek neneknya karna orangtua Afrizal bekerja di jember dan tidak bisa membawa dua anak sekaligus, mengingat saat itu umur kakak Afrizal yang juga masih kecil hanya selang 4 tahun setelah kelahirannya.
Afrizal remaja dikenal sebagai anak yang tidak bisa diam dan mudah bergaul, memasuki Sekolah Mengah Pertama (SMP) ia sudah disibukkan dengan kegiatan didalam maupun diluar sekolah. “Aku dulu waktu SMP sering banget pulang malem dan tidur disekolah.” ucapnya seraya tertawa dengan suara khas. Dari kegiatan paskib hingga jadi fotografer amatiran ia lakoni, bahkan jadi penjaga warnet pernah ia alami “Buat nambah-nambah, dulu uang jajanku cuma Rp 5000. Habis untuk makan sama transport, untuk itu aku cari penghasilan lain biar bisa nabung dan traktir teman-teman.” tawanya kembali merekah mengingat jaman-jaman SMP. Ia juga pandai melihat peluang, saat teman-teman SMPnya malas mengerjakan tugas Afrizal remaja akan bersedia menggarapkan tugas teman-tamannya dengan imbalan beberapa lembar uang seribuan. “Jadi temen-temenku sing males, tugasse tak kerjakno nah terus mereka tak suruh bayar.”
Jiwa pekerja dan lihai melihat peluang berlanjut hingga sekarang, tergambar dari beberapa usaha kecil-kecilan yang pernah ia coba dari kaos lukis, usaha penyewaan alat camping yang hanya bermodal satu buah sleepingbad, usaha tambak hingga ternak cacing. Tak heran, saat kuliah jabatan sebagai ketua umum Kelompok Studi Kewirausahaan Mahasiswa (KSKM) pernah ia sandang. Tiga setengan tahun yang lalu Afrizal terdaftar sebagai mahasiswa jurusan manajemen, fakultas ekonomi, universitas jember. Awal menjadi mahasiswa baru, Afrizal mengaku rajin kuliah, namun karna sifatnya yang dedel (sulit diatur) itu tak bertahan lama.  “Aku dulu pas awal kuliah, aku rajin banget. Tapi karna kerajinan terus, akhirnya aku nggak mau rajin lagi jadi sampe sekarang sering bolos.” Meskipun seperti itu, Afrizal sangat tahu tanggung jawab dan konsekuensinya. “Meskipun begitu, aku selalu menepati target-target yang harus dijalankan, jika target ini harus diselesaikan sekarang maka akan aku selesaikan sekarang juga.” jelasnya. Memes dan almarhuma Ebes (sebutan ibu dan ayah dalam bahasa jawa malang) Afrizal selalu bilang, apa yang dikerjakan Afrizal sekarang ataupun nanti merupakan tanggung jawab Afrizal apabila gagal/sukses maka itu yang harus di terima. “Memes sama ebes sejak kecil udah bebasin aku untuk memilih apa yang aku mau kerjaan yang terpenting harus berani bertanggung jawab.” ucap Afrizal.
Semua kegiatan yang ia lakukan harus punya alasan kuat dan saat itulah ia akan berkomitmen sampai akhir. Kesibukkan yang ia jalani sebagai mahasiswa, organisatoris bahkan wirausahawan tak membuatnya lupa akan pentingnya berbagi pada sesama dan peduli pada lingkungan. Salah satunya, ia bersama empat kawannya mendirikan sebuah komunitas  peduli lingkungan terhadap budidaya mangrove yaitu Panama (Paguyuban Penanaman Mangrove). Belum genap satahun komunitas ini berdiri namun pencapaiannya dapat di acungi jempol, 1000 bibit mangrove jadi target untuk wilayah Jember namun sekitar 30% sudah terlaksana. “Ini seperti panggilan jiwa bagi saya dan kawan-kawan lainnya, bahwa komunitas ini dapat melakukan perbaikan pada negeri melalui magrove.” jelasnya.
Teringat betul ucapan Afrizal diakhir perbicangan sore itu, “Apapun yang kita kerjakan selalu ingat bahwa setetes keringat pasti membawa manfaat, minimal apa yang kita kerjakan berguna untuk diri sendiri.” ucapnya dibarengi dengan senyum dan tawa kecil.

NB: Profil ini sudah lama saya tulis sekitar akhir tahun 2015. Saya hanya ingin membagi kisahnya. Lama tak berjumpa dengannya, sepertinya ia sedang sibuk dengan komunitas Panama yang sekarang sudah lebih maju dari sebelumnya. 

1 Comment So Far: