YANG TIDAK
pernah kusangka sebelumnya.
Tujuh tahun
lalu di masa biru putih. Aku mengenal Maya, perempuan berbadan montok, berkulit
putih, berambut pendek dan bertai lalat di atas bibir. Ia adalah seseorang yang
mampu memberikan makna pada sebuah ketidaksengajaan dan sesuatu yang dianggap tidak sopan. Mengubah sedikitnya
pola pikirku mengenai hal berbau dan berbunyi yang asalnya dari belakang, yaitu
Kentut.
Sungguh kuucapkan
banyak terima kasih pada Maya. Tidak hanya memberikan pelajaran berharga tapi
ia juga memberikan kenangan terindah yang tak pernah aku lupakan sampai sekarang.
Kenangan yang melebihi nyanyian mantan di tengah malam dan kecupan lembut di
kening.
Kala itu
aku, Maya dan tujuh teman lainnya sedang latihan senam untuk tugas akhir kelas
1 SMP. Kami sudah berlatih cukup keras dan ini latihan ketiga kalinya. Pelatih
senam dengan baju ketatnya sudah memimpin di depan. Kami dengan segera mengatur
barisan dan aku berada tepat di belakang Maya dengan jarak setengah meter.
Musik di setel. Senam akan berlangsung sekitar 30 menit. Pelatih dengan santai memeragakan
gerakan pemanasan, kami semua mengikuti dengan seksama. Waktu sudah berjalan 10
menit untuk pemanasan. Dilanjutkan dengan gerakan cepat fase tengah senam
selama 15 menit. Kami cukup sulit mengikutinya dan kerap kali bertabrakan. Fase
terakhir adalah pendinginan. Gerakan lambat dan pelan merenggangkan otot-otot
yang tegang. Pada salah satu gerakan pelatih memeragakan, dua tangan yang di
tarik kedepan menundukkan setengah badan. Terasa sekali gerakan itu menarik
otot sekitar pantat hingga betis. Dan saat kami sudah berada pada bentuk yang
sama persis dengan pelatih.
“Duuuuuuuuuuuut.” suara lain keluar diantara musik mendayu-dayu.
Seketika
semua terdiam, beku. Mencari asal suara yang ternyata berasal dari Maya. Kami
semua melihat ke arahnya, kemudian tertawa terbahak-bahak seketika barisan
senam buyar. Aku tertawa terpingkal-pingkal sampai gulung-gulung dilantai. Air
mata kesenangan jatuh bercampur dengan sisa-sisa keringat. Mulutku kaku dan
mukaku merah. Itu adalah ketawa paling lepas dan terlama yang pernah aku alami.
Maya hanya tersenyum malu-malu melihat
kami semua tertawa. Jujur tertawaku yang paling parah.
Dari kejadian tersebut aku belajar bahwa, di-kentut-i tak selamanya
menyebalkan. Maya memberikan arti kesenangan disana. Kentut bisa membuat kami
semua tertawa bersama. Sejak saat itu hubunganku dengan Maya menjadi lebih
dekat dan Maya jauh lebih dikenal karna kentutnya, bukan lagi karna tai lalat
besar di atas bibirnya.
Ngomong-ngomong soal tai lalat Maya. Usut punya usut,
sekarang ia menjadi salah satu anggota Komunitas Tompel se-Indonesia (KTI) di
bawah kepengurusan tiga kawan yang juga aku kenal cukup dekat. Mereka adalah
Faiz si bapak dekonstruksi, Rossi ibu negara api dan seorang lagi yang
disembunyikan identitasnya. Dan semoga komunitas ini tetap berada pada jalan
yang lurus.
Setelah ini
mungkin Maya bisa membentuk komunitas baru mengenai ke-kentut-an bersama ahli psikologi
kentut, bapak Basit. Untuk urusan pengkaderan bisa saya bantu nanti.
*Tulisan ini merupakan hasil tantangan Writting Challange bertema Kentut'